DETAK KE 1 - SEPERTI BIASA

1.1K 134 8
                                    

TAHUN 836

[9 Tahun Sebelum Kehancuran Shiganshina]

AUTHOR'S Point Of View

Seperti biasa, dua jam sebelum matahari terbit, Airi berhasil menarik paksa dirinya sendiri dari mimpi indah sekaligus mengerikan yang membuatnya berderai air mata dalam tidurnya. Mimpi indah yang berbeda setiap malamnya, tapi dengan akhir mengerikan yang sama. 

Kematian keluarganya.

Airi menepis kasar cairan bening dipipi. Ia beranjak meletakkan alat musik dipangkuannya pada tampat aslinya sembari menarik nafas panjang untuk meredakan ketakutan sekaligus debaran jantung yang menggila. 

Tenang. Airi, tenanglah. Jadilah anak yang baik. Tenang.

Mengambil pakaian ganti, gelapnya hutan dengan kabut putih samar plus hawa dingin menusuk tulang tidak dihiraukan Airi untuk memulai aktivitasnya. Mandi. Ditemani obor, Airi menyusuri jalan setapak hasil karyanya sendiri menuju air terjun kecil yang berjarak seratus lima puluh meter arah utara rumahnya. Omong-omong, itu alasan pertama mengapa Airi memilih gua itu sebagai rumahnya.

Lima belas menit menyegarkan diri cukup memulihkan suasana hati Airi. Rambut putihnya yang basah ia biarkan tergerai begitu saja. Kantong makanan kecil berisi roti dan buah-buahan biasa menemaninya melakukan aktivitas kedua. Menunggu sinar baskara dipuncak pohon tertinggi.

Airi tidak ingat sejak kapan ia mengembangkan kebiasaan ini, tapi yang jelas hatinya gelisah ketika aktivitas ini tak dilakoninya seperti biasa. Inilah alasan keduanya. Arah timur, tiga ratus meter dari rumahnya terdapat sebuah tebing curam dengan sebuah pohon oak raksasa. Berbekal tali dan pasak, Airi tak nampak kesulitan sedikitpun memanjati pohon setinggi delapan meter itu.

Didahan tertinggi, Airi mengguncang lonceng angin yang tergantung didekatnya, menimbulkan bunyi ting ting ting tak beraturan dan terus berlanjut setiap kali angin menggoyangkannya. Bersandar ringan pada batang pohon, Airi mengisi perutnya santai, menikmati pemandangan lembah hutan berselimukan kapas. 

Entah Airi benar-benar memandangi itu, melamun tak jelas, atau memikirkan masa depannya yang terlihat sangat suram, tapi yang jelas gadis itu baru akan turun jika sinar baskara menerpa wajahnya.

---

AIRI Point Of View

Perbukitan paling timur di wilayah timur Dinding Maria.

Itu tempatku tinggal. Sangat-sangat jauh dari perkotaan. Biarlah, lagipula aku tak suka bisingnya suara manusia. Pagi ini sangat cerah, semilir angin hangat yang sejalan dengan sinar fajar terasa begitu menenangkan. Satu-satunya hal yang membuat diriku sangat nyaman selain dentingan qin adalah menunggu fajar.

Rasanya ingin tetap disini lebih lama lagi, tapi hari ini aku harus menjual daging hasil buruanku kemarin, juga segala sumber daya dari hutan yang kukumpulkan, jadi aku lekas turun dan bersiap. Seperti biasa, aku selalu memakai pakaian yang sama ketika pergi ke kota, celana dan kaos hitam lengan panjang ditambah mantel abu-abu selutut. Setelah menggelung rambut, tudung mantel langsung kunaikkan, menutupi ke'abnormal'an warna rambutku. Kacamata belensa abu-abu juga kupakai untuk mencegah seseorang mengenali Klanku.

Ah, sebenarnya kupikir tak masalah jika aku tak memakai semua ini. Toh persekusi seratus tahun yang lalu sudah terkubur begitu dalam. Bahkan jika pihak kerajaan melihatku, aku yakin mereka tak kan mengenalinya sebagai Aneeska sipembelot yang harus dilenyapkan.

Sejujurnya, aku hanya benci ditatap.

Lagipula, ke'istimewa'an ini bisa memancing masalah lain seperti tujuh tahun yang lalu.

MELLIFLUOUS BEAT I [LEVI X OC] I SHINGEKI NO KYOJINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang