IV. Hati Yang Terbakar

342 90 18
                                    

“Kepikiran Alif?”


Suara Husain menyadarkan Zulfikar yang sedari tadi fokus pada buku pemberian Alif. ‘JAMANIKA’―menjadi pengisi halaman pertama buku itu. Ia bentuk menjadi lettering, kemudian  dipolesnya dengan cat air warna-warni yang selalu ia bawa.

Husain mendekatinya, duduk bersandar di meja tempat Zulfikar sedang menulis seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada. “Lagian ... kenapa sebelum berangkat enggak akad dulu sih? Senggaknya ‘kan kamu bisa tenang.”

Zulfikar mengulas senyum. “Justru aku enggak bisa tenang, Hus. Masak iya sih, baru resmi sah langsung ditinggal? Kasian Alifnya. Aku juga sih. Nanti jadi rindu.” Ia merapikan kuas dan catnya. “Kita enggak tau sampai kapan di sini. Makanya, aku enggak mau mengikat erat gadis itu dulu.”

“Aneh,” sergah Husain. “Emang sekarang enggak rindu?”

“Belum halal bagiku untuk merinduinya, Hus.” Pria berdarah Jawa-Palembang itu terdiam sejenak. “Btw, aku kepikiran buat benerin masjid di kampung ini. Menurutmu gimana, Hus?”

Pengalihan topik! Husain sadar itu, kalau Zulfikar tak mau larut pada rasanya sendiri. “Kamu yakin ... warga di sini enggak akan demo atau kita kena sidak sama Pak Kades?”

Pandangan Zulfikar beralih pada lampu teplok di hadapannya. “Mungkin itu akan terjadi, tapi masjid tetap akan menjadi langkah awal memulai perubahan ini.” Ia menghela napas. “Sebentar lagi ramadhan, dan ... kalau enggak dibenerin mau tarawih di mana kita? Jangankan tarawih, Jum’atan aja deh yang deket ini.”

“Iya, tapi kamu beneran yakin?” Husain masih berusaha memastikan.

“Yakin. Bukankah Rasulullah juga membangun masjid dalam persinggahan hijrahnya menuju Yatsrib?”

Skak mat! Husain tak mampu berkutik ketika Zulfikar sudah mulai membahas Sirah. 

“Anggaplah itu sama. Sebagai dasar wujud dari takwa. Masjid itu akan jadi pusat perjuangan kita di sini. Lagi pula, kita hanya memperbaiki apa yang sudah ada. Bukan membangun apa yang belum ada.”

*** 

[Pesantren Nurul Dzikra, di malam 23 tahun silam, 02.00 A.M]

“Umi ... Abi ....”

Mirza yang berusia lima tahun itu menggerung ketika belum mendapati kedua orang tuanya keluar dari rumah yang terbakar hebat. Suaranya sudah serak karena tangis dan jeritan. Ia ingin berlari ke dalam dan menjemput orang tuanya, tapi Buya menahannya.

“Tenang Mirza. Umi-Abimu pasti selamat.” Pria itu mendekap Mirza agar tak gegabah.

“Tapi kenapa mereka enggak keluar-keluar, Buya? Apinya tambah besar.” Mirza kembali menangis tersedu.

Orang-orang hilir mudik sibuk memadamkan api dengan peralatan seadanya. Berusaha menyelamatkan pasutri yang masih terjebak di dalam. Mirza selamat, karena ia menginap di tempat Buya begitu selesai murajaah.

“Bi ... keluarlah dengan Zulfikar. Jangan hiraukan Umi,” kata Hasna―uminya Mirza dengan suara bergetar dan napas tersengal. Dadanya sesak, asmanya kambuh. Kini ia merasa seperti di ujung kematian.

Gauzan―suami Hasna sekaligus abi Mirza juga merasa sesak di dada. Asap dan kondisi sang istri membuatnya semakin tak berdaya. Di tambah seorang bayi yang belum genap berusia dua tahun dalam dekapannya terus menangis kejer.

Dengan bibir bergetar dan napas tersengal ia mulai berucap, “Kita harus keluar bersama.”

Gauzan meraih tubuh Hasna dengan sebelah tangannya, sementara tangan satunya menggendong Zulfikar. “Kita akan keluar.” Ia mulai berjalan dengan Hasna yang terus memegangi dada.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang