XXXIII. Masing-masing Kita

236 61 3
                                    

Ikhlas, satu kata yang mudah diucap, tetapi begitu sulit dilaksana. Mungkin itulah yang Zulfikar coba lakukan pasca pertemuannya dengan Alif. Nyatanya, cinta memang menyakitkan dan tak bisa ditebak. Semakin dalam mencintai, semakin dalam terlukanya. Sampai hatinya terus beretorika, apakah selama ini dia mencintai dengan cara yang salah hingga Allah menegurnya? Pertama Galuh, kemudian Husain. Setelah ini, apa lagi?

Mengesampingkan urusan pribadi, Zulfikar memijit pelipisnya. Di hadapannya masih berserak beberapa program usulan yang sudah didiskusikan dengan orang-orang desa. Seperti meningkatkan kemandirian pangan, juga usulan program desa kreatif. Semuanya sudah ditabulasi matang-matang. 

Dengan berkas-berkas di tangannya, dari balai desa Zulfikar bertolak ke rumah Eyang Danar. Dalam perjalanan itu, atensinya tiba-tiba tertarik pada tanaman yang berjajar di pagar milik orang lain. Bunga Aster penuh kenangan. Zulfikar tersenyum tipis kala mengingatnya, kemudian berlalu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Zulfikar ketika tiba di kediaman Danar. Pemuda itu sudah dianggap jadi keluarga oleh Danar dan anggota keluarganya. Mereka tinggal bersama, kecuali Angger. Anak itu sudah berbaikan dengan bapaknya dan kini mereka tinggal bersama.

Zulfikar masuk ke kamarnya, yang juga dihuni oleh Sakha. Anak itu setidaknya sudah jauh lebih baik kondisinya. “Sakha,” panggil Zulfikar.

Anak itu menoleh, Zulfikar pun mengambil tempat di sampingnya.

“Mas, sebenernya Sakha takut.” Ucapan itu membuat Zulfikar menatap penuh tanya. “Mas ... enggak bakal ninggalin Sakha sendirian, ‘kan, kayak Mbak Galuh?” 

Zulfikar memeluk Sakha, meletakkan dagunya di puncak kepala. “Mas enggak akan pergi, Kha. Kamu ‘kan, masih di sini? Kalo Mas pergi, siapa yang jagain kamu?”

Sudut hati itu sebenarnya tersayat. Jujur, Zulfikar juga ingin pulang. Dia rindu pesantrennya. Dia rindu suasananya. Namun, Sakha yang menjadi sebatang kara sepeninggal Galuh adalah tanggung jawabnya. Pernah dia coba mengajak Sakha ke pesantren, tetapi anak itu enggan, menyatakan bahwa Mbaknya di sini dan dia tidak mau pergi.

Lagi-lagi Zulfikar dipukul telak. Mengalah, bagian dari ikhlas, bukan?

Menghitung bintang di langit? Bukan. Memandangi rembulan? Bukan. Lebih tepatnya memandang kosong, dengan duduk bersandar di batang pohon mangga depan rumah Danar. Itulah yang sedang Zulfikar lakukan. Tidak jelas? Memang. Sebuah buku bersampul cokelat masih tergenggam di tangan kanannya. Beberapa alat melukis juga masih berserakan di kursi bambu. Melukis dalam temaram? Mungkin itu skill tambahan yang Zulfikar miliki.

“Zul!”

Pemuda itu terlonjak, dari lamunannya. “Eyang?” 

Pria tua itu pun duduk di sebelah Zulfikar. “Ngelamunin apa kamu?”

“Bukan apa-apa,” singkat Zulfikar seraya membenahi duduknya.

“Bukan apa-apa kok tiap malem dilamunin?” 

Zulfikar tersenyum tipis. “Eyang, kalau aku nanem bunga Aster di halaman ini boleh enggak?” Pemuda itu coba mengalihkan topik pembicaraan. Tidak mungkin, ‘kan, dia menceritakan tengah galau urusan cinta? Sejauh apa pun dia lari, nyatanya rasa itu sulit dihapus.

Kening Danar mengernyit. “Bunga Aster?”

Zulfikar mengangguk. “Biar lebih hijau aja halamannya,” dalih Zulfikar.

Embusan napas Danar terdengar nyaring. “Biar lebih hijau, atau biar bisa lepas rindu?”

Bagaimana pria tua ini tau? Batin Zulfikar bertanya. “Mau lepas rindu juga enggak masalah, ‘kan?” Walaupun udah enggak berhak.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang