XXIV. Yang Tidak Seharusnya Terjadi

235 66 18
                                    

Jika jarak di antara kita yang terlalu dekat membuatmu merasakan sakit, maka aku sudah merasa cukup, hanya bisa memandangimu dari kejauhan seperti ini. Setidaknya, itu bisa mengobati rindu dari cintaku yang bertepuk sebelah tangan.

____________

“Buat apa Bapak ke sini?” Suara berat yang menggema dalam pengap itu membuat Eyang Danar terkesiap. “Lebih baik Bapak pergi dan layani orang-orang keparat itu. Aku tidak sudi memiliki orang tua yang bermuka dua sepertimu!”

“Aryo, kamu harusnya tau kalau ini bapak lakukan demi kebebasanmu dan keluargamu,” kata Eyang Danar.

“He ... demi keluargaku? Lebih baik kami tinggal di sini membawa keimanan kami, daripada hidup dan harus tunduk pada aturan memuakkan desa ini!”

“Aryo!” Eyang Danar menyebut lantang nama pemilik suara berat itu. “Kamu―”

“Lebih baik sekarang Bapak pergi. Dan nikmati hasil dari pengabdian Bapak pada orang itu.” Lelaki dalam jeruji besi itu berbalik, membelakangi Eyang Danar dan memeluk dua sosok di hadapannya.

Eyang Danar tak mampu berkutik. Dia pun angkat kaki dengan muka bertekuk, menyusuri lorong yang lantainya berair, minim penerangan, pengap, dan juga bau. Sapta mengekor di belakangnya, sampai ....

“Galuh?” Eyang Danar menghentikan langkahnya, menatap gadis yang berpapasan dengannya. “Kamu mau menjenguk dia?”

Galuh mengangguk. “Galuh cuma mau nganter makanan kesukaannya, Eyang. Dia pasti kesepian di sini.” Begitu pun denganku. Semenjak malam itu, Zulfikar tak pernah kembali ke rumahnya. Alasan klise yang  menuntunnya ke tempat ini untuk sekedar melepaskan sepi hati.

Eyang Danar mengangguk dan kembali melangkah. Sementara Galuh, juga melanjutkan langkahnya, memasuki lorong yang tadi dilewati Eyang Danar. Matanya tak jemu memandang sisi kiri dan kanannya. Suara tangisan dan rintihan orang-orang di sana menjadi pengiring langkahnya. Di sini tidak ada siang. Setiap waktu adalah malam karena tak ada sinar matahari yang masuk. Dia ingin menolong, tapi dia yang seorang diri bisa apa?

Langkah gadis itu langsung berhenti di jeruji paling ujung. “Sakha?” panggilnya pelan.

“Mbak Galuh?” Pemilik nama itu langsung mendekati Galuh. Mereka bisa bersentuhan, tetapi hanya dari celah tabir jeruji besi. Anak itu memegang tangan Galuh. “Mbak ... Sakha takut di sini. Sakha mau pulang.” Sakha merengek, air mata polosnya langsung mengalir.

Galuh sama sesaknya, dia ingin Sakha bebas, tetapi dia tidak tahu harus bagaimana. Warga di sini tidak ada yang bisa diharapkan, karena semuanya hidup di bawah tekanan dan ancaman. Sama seperti dirinya. “Sabar, ya, Kha.  Mbak yakin Sakha bisa bebas nanti.” Galuh mengangkat rantang yang dibawanya. “Nih, Mbak bawain sayur lodeh, sambel, sama tahu bacem kesukaanmu. Dimakan dulu, ya?” 

* * *

Rumah ini semakin sunyi. Mirza dan Angger pergi untuk mengirim surat ke dermaga, setelah Zulfikar memintanya untuk mengirim surat yang sudah terabai sebulan lebih. Surat itu akan diteruskan dan dikirimkan ke pesantren melalui orang bayaran. Lalu Eyang Danar … ah, sudahlah. Sejak awal Husain tak bisa mempercayai pria tua itu. Dia tidak pernah tau urusan dan ke mana orang itu pergi. Ingin menyelidiki, tapi kondisi Zulfikar tidak memungkinkan untuk ditinggal.

Husain duduk bersandar, bermonolog dengan pikirannya sendiri seraya memijat keningnya. Dia sadar dengan kapasitasnya. Dia dokter, tapi bukan psikolog yang bisa meng-healing kejiwaan seseorang. Ketika dia merasa berhasil, Zulfikar justru kembali ke keadaan semula. Sosok Zulfikar yang berisik dan hobi membangkang sudah lenyap. Terlebih ketika tadi malam―setelah sekian lama Zulfikar  bungkam, akhirnya dia mau mengutarakan isi hatinya.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang