Eyang Danar, Pak Sapta, dan ketiga pemuda itu duduk bersila di atas tikar pandan yang bisa mereka gunakan seperti biasanya. Di hadapan mereka tersaji menu hasil prakarya Zulfikar dan Pak Sapta. Tiwul, urap dan kuluban, serta bacem tahu. Meski baru mengenal beberapa hari ini, tapi Zulfikar dengan kemampuan sosialnya bisa cepat akrab pada orang yang semula ia anggap akan sangat anti sosial.
Suasana sarapan kali ini terasa berat. Bukan hanya berisi pujian masakan Zulfikar, tapi juga topik diskusinya.
“Apa uang benar-benar bisa menyelesaikannya?” Zulfikar berkacak pinggang, dan menggeleng sesaat―merasa sangat tak yakin dengan ide menukar Angger dengan uang. Bahkan nafsu makannya yang super mendadak hilang. “Rasanya bukankah kita seperti melakukan transaksi jual beli manusia?” protesnya masih tak terima.
Eyang Danar menghela napas tuanya. Menatap Zulfikar yang terlihat frustrasi. “Sukma itu candu judi. Orang berpendidikan sepertimu pasti mengerti, sekalinya seseorang jatuh ke dalam jerat itu akan sangat sulit untuk lepas darinya. Jadi, uang di sini bisa menjadi alternatif meski kita tidak tau seberapa besar persentase keberhasilannya.”
“Untuk saat ini ... menurutku ini adalah rencana yang terbaik demi menyelamatkan Angger.” Mirza menimpali. Pemuda itu menyuapkan nasi tiwul, lengkap dengan urap, dan bacem yang sedari tadi menggantung di tangan.
“Walaupun sama enggak manusiawinya?” kata Zulfikar dengan tatapan tajam.
Mirza mengangguk. Ia menelan kunyahan yang telah lembut. “Bukankah nyawa Angger yang paling utama saat ini? Uang ... kita punya itu. Kita bisa membaginya untuk kebutuhan dan menyelamatkan Angger.”
Zulfikar mengatupkan bibirnya. Benar. Itu tujuannya, tapi hatinya dipenuhi keraguan untuk tetap mengiakan ide yang seperti mencederai nalurinya. Ia lalu beralih memandang Husain yang tumbenan sedang anteng. “Menurutmu gimana, Hus? Setuju sama ide ini?” tanyanya spontan.
Keraguan juga terlihat dari mimik wajah pemuda cuek itu. “Sebenarnya aku enggak yakin, tapi sepertinya patut dicoba.”
Haruskah Zulfikar mengiakan ide gila ini?
“Kesampingkan dulu egomu itu. Mana yang lebih penting ... nyawa orang atau idealismemu?” Mirza menatap lekat manik Zulfikar.
Pemuda itu refleks menundukkan pandangannya, menjadi sayu. Ia merenungkan perkataan Mirza barusan.
“Selesai benerin masjid kit ke sana,” ucap Husain tiba-tiba.
“Apa itu enggak kelamaan? Kenapa enggak habis ini aja?”
Seperti biasa, Zulfikar selalu menggebu terhadap sesuatu yang urgen. Terlebih urusan yang berkaitan dengan rasa. Hatinya sangat peka dan perasa dibanding Husain dan Mirza.
“Satu-satu kita selesaiin, Zul. Takut keburu jum’atan juga. Insyaallah enggak lama, dan berdoa aja Angger enggak kenapa-napa.”
Husain memang disiplin, terstruktur, dan terencana. Bisa dibilang dia itu paling sami’na wa atho’na jika ada apa-apa.
“Mulai sekarang kalian harus hati-hati.”
Ucapan Pak Sapta membuat Zulfikar tercekat.
“Pak Kades akan segera kembali.”
“K–kapan? Kapan tepatnya orang itu akan kembali ke sini?” tanya Zulfikar tergugu.
“Lusa.”
“Tepat hari Jum’at?” Zulfikar mengembuskan napasnya penuh kekalutan. “Oh Allah, apa yang akan dilakukan orang itu nanti?”
“Kami mungkin tidak bisa berbuat banyak. Satu-satunya yang bisa melindungi diri kalian adalah kalian sendiri,” tambah Sapta.

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spirituale[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...