[S E L E S A I]
"Urip iku urup."
Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika.
Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mirza telah duduk di tengah ruangan sidang. Di hadapannya, ketiga hakim sudah duduk gagah dengan toga kebesaran di tahtanya. Di sisi kanannya ada para jaksa penuntut umum duduk dengan pandangan tegak. Di sisi kirinya, ada penasihat hukum juga sudah duduk menanti. Dan di balik pagar kayu belakangnya, para penjaga tahanan dan yang menanti keadilan masih siaga mendengar.
“Putusan, nomor ....”
Mirza memejamkan matanya kala amar putusan mulai terdengar. Pagi ini memang cerah, tetapi tidak bagi Mirza. Narapidana ... dihukum seumur hidup, atau mati? Adakah maaf dari dosanya yang sudah menghitam dan membatu?
“ ... yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa. Nama lengkap, Mirza Aidan Tsaqif alias Mirza bin Gauzan ....”
Abi .... Mirza tertunduk semakin dalam ketika nama Abinya tersebut. Bukan dalam acara kehormatan, tetapi meja hijau pengadilan. Sebegitu buruknya hingga dia menorehkan noda pada orang tuanya yang telah tiada. Ingatannya pun memutar balik reka di malam ketika Zulfikar menyadarkannya. Masih pantaskah dirinya disebut anak?
“Menyatakan terdakwa Mirza Aidan alias Mirza Aidan Tsaqif terbukti bersalah melakukan tindak pidana ....”
Vonis mati adalah yang terbaik. Setidaknya, dia akan bebas dari mulut-mulut jahat manusia, ‘kan? Setidaknya, dia akan lepas dari semua beban itu, ‘kan?
“ ... menjatuhkan pidana terhadap Mirza Aidan alias Mirza Aidan Tsaqif dengan pidana penjara selama dua puluh tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap di tahan ....”
Sesak di dada semakin bergemuruh. Harapnya tak tercapai. Kristal bening yang tak mengeras perlahan jatuh. Mulai detik putusan di bacakan dan tiga kali ketuk palu dibunyikan, Mirza harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Ketika sidang berakhir, Mirza beserta mereka yang diputuskan dibawa keluar dari ruangan. Ketika baru beberapa meter, mata sendunya menangkap Zulfikar yang sama-sama diam.
“Maaf ....” Hanya itu yang terlontar dari bibirnya dengan wajah menunduk. Hingga tanpa disadarinya sebuah pelukan mengejutkannya.
Setelah memberi pelukan, Zulfikar memberi jarak dan memegangi kedua bahu Mirza. “Mas, aku akan menunggu hari kebebasanmu. Kita akan mulai dari awal lagi, oke?”
“Kamu tau, aku sebenarnya lebih setuju dihukum seumur hidup atau mati,” kata Mirza dengan ekspresi semakin sendu, sukses membuat netra Zulfikar melebar seketika.
“Aku hanya memikirkan bagaimana nanti kehidupanku setelah bebas. Putusan hakim memang terdengar mengerikan, tapi penghakiman orang-orang di luar sana jauh lebih mematikan. Berberkal lisan yang tajam, mereka coba membunuh perlahan dengan cara paling menyakitkan. Aku yang nanti masih bisa menjadi mantan narapida, apakah masih punya tempat?” Matanya berkaca, mengaburkan fungsi netra.