Pria paruh baya yang selalu berbusana hitam itu terbelalak ketika salah seorang bawahannya membisikkan sesuatu. "Kita harus segera pergi dari sini." Baru saja berbalik, mata pria itu terbuka lebar begitu mendapati seseorang sudah berdiri di sana dengan tatapan nanar. "Sukma?"
"Mau pergi ke mana kamu?"
Ki Aji mengedarkan pandangannya. Tempat itu sudah dikepung oleh warga tanpa mereka sadari. Bukan hanya yang laki-laki, tetapi juga para perempuan. Berhasil membuatnya ketar-ketir. Keberanian warga yang semula terkuci rapat, kini mendadak menjadi percikan yang mengikis keberaniannya.
"Hari pembalasanmu sudah tiba, Ki."
Warga yang laki-laki langsung bergerak maju, sementara yang perempuan di arahkan menuju gua untuk membebaskan yang terpenjara. Alhasil, tempat itu seketika berubah menjadi medan pertempuran. Yang satu berdiri dalam gelapnya bayangan, yang satu mendobrak paksa untuk mengembalikan cahaya.
Di sudut lain tempat yang sama, Zulfikar berhasil meraih kerah Mirza. Sebuah pukulan langsung dilayangkan ke pemilik mata sendu yang wajahnya sudah lebam.
"Berengsek kamu, Mas!" Zulfikar mengambil kerahnya lagi dan memukulnya lagi hingga Mirza tersungkur. Pemuda itu mengeratkan cengkeraman di kerah Mirza. "Kenapa kamu harus jadi pembunuh, Mas! Kenapa?" teriaknya menyahuti bunyi guntur yang menggerung di langit gelap. Sakit. Satu rasa yang membunuhnya malam ini. Melihat bagaimana orang lain lagi-lagi mengorbankan diri untuknya.
"Kenapa katamu? Bukankah sudah jelas itu karenamu!" Mirza membalas pukulan di wajah Zulfikar dan membalik keadaan. "Karenamu, orang tuaku mati! Dan aku membencimu!"
Sudut bibir Zulfikar tertarik. "Apa masih pantas kamu menjadi anak mereka?"
"Apa katamu?" Mirza memekik, melayangkan pukulan lagi di pelipis Zulfikar yang pasti sukses membuat telinganya berdenging. "Orang asing sepertimu tidak berhak memberikan penilaian!"
Zulfikar menggeleng, berusaha memulihkan penglihatan dan pendengarannya, lalu ditatapnya lagi Mirza. "Kamu berusaha membunuh saudaramu sendiri dengan berlandaskan kematian orang tuamu. Dan sekarang, kamu menodai tanganmu sendiri dengan darah orang lain. Apa masih pantas?"
"Bukankah kamu melihatnya dengan jelas, kalau wanita bodoh itu mati karenamu?" Mirza mendekatkan mulutnya ke telinga Zulfikar. "Sekalinya pembawa sial, tetap saja pembawa sial!"
Ucapan itu semakin menarik gemuruh dalam hati Zulfikar. "Jangan sebut dia wanita bodoh! Dia hanyalah korban yang dimanfaatkan oleh penjahat sepertimu!"
Mirza menyeringai tipis. "Ternyata, kamu sudah mengakuinya sebagai istri. Atau, jangan-jangan kamu sudah jatuh cinta padanya?" Mirza merasa menang. "Bahkan, aku menyebutnya saja, kamu langsung marah." Mirza pun tertawa yang sulit di artikan Zulfikar. "Tapi ... tidak apa. Yang penting, aku berhasil membuat Alif membencimu. Dia, tidak akan pernah menerima pengkhianat sepertimu!"
Gigi Zulfikar bergemeletuk. "Jangan sebut namanya dengan mulut kotormu, keparat! Umimu pasti menyesal karena sudah melahirkanmu!"
"Diaaaam!" Mendadak dada Mirza naik turun. Rahangnya mengeras, kerutan di antara alisnya semakin dalam. "Jangan sok mengerti! Aku yang anak mereka, bukan kamu!" teriaknya tepat di depan wajah Zulfikar.
"Jangan sok mengerti?" Zulfikar memukul sudut bibir Mirza, membuat pemuda itu limbung ke samping. Kembali dicengkeram erat kerahnya. Uap beku di langit yang menutupi candra pun tak tinggal diam dan mulai terkondensasi, seakan mengerti situasi yang sedang panas di bumi.
"Kamu yang tidak mengerti, Mas! Apakah tidak cukup aku berbagi orang tua denganmu? Apakah tidak cukup selama ini aku yang seperti anak tiri? Bahkan, mereka baru sadar keberadaanku, kalau aku yang mendatangi mereka dulu. Padahal aku anak mereka sendiri."

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritual[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...