XVI. Ancaman

166 59 7
                                    

Sekuntum bunga nan indah dipetik oleh tangan tak bertanggung jawab. Kehidupannya direnggut paksa. Lantas, masih adakah yang menerima ketika ia telah melayu dan teronggok di tanah tanpa seorang pun memandangnya lagi, Tuan? 

~ El Serein ~

_________

Galuh yang masih di kamar Sakha terlonjak ketika mendengar ketukan keras dari pintu rumahnya. Sakha yang masih belum tidur itu terduduk. “Siapa, Mbak, yang dateng malem-malem gini?” 

Galuh menggeleng. “Mbak juga enggak tau.” Matanya melirik jam. “Sekarang udah hampir jam dua belas malam. Harusnya warga udah pada tidur, ‘kan?” Jangankan jam dua belas malam, jam sembilan saja rumah-rumah sudah sepi. Meski berbeda di sebagian tempat di desanya yang didominasi orang berjudi. “Sebentar, ya, Kha. Mbak bukain pintunya,” kata Galuh sambil beranjak dari tempat tidur.

“Aku ikut, Mbak.” Anak laki-laki itu mengekor di belakang Galuh.

Setibanya di depan pintu, jantung Galuh berdegup kencang karena takut. Tangannya ragu-ragu ketika akan memutar handle pintu.

“Mbak, kalau itu penjahat gimana?” kata Sakha dengan suara bergetar. Galuh mengusap puncak kepalanya.

“Enggak apa-apa, ada Mbak di sini.” Galuh mengembuskan napasnya dan berusaha mengumpulkan keberanian. Ia lalu membuka pintunya dan sosok yang selalu membuatnya takut itu telah berdiri dengan wajah angkuh di ambang pintu. “K–kamu?” Galuh berjalan mundur, ia berusaha melindungi Sakha di belakangnya. “Mau apa kamu datang kemari?!” Suara Galuh meninggi.

Ki Aji beserta orangnya yang bertamu ke rumah Galuh. Ia tersenyum sinis. Kemudian melangkah maju, beriringan dengan Galuh yang masih terus mundur. “Suwe ora ketemu, Cah Ayu. Aku rindu karo awakmu.” [1]

Pria itu kembali tersenyum, seraya menghentikan langkahnya. Ia menarik kursi kayu di ruang tamu, di bawah remang petromak yang tergantung. Kakinya naik dan bertumpuk di meja. Mulutnya mengeluarkan kepulan asap cerutu yang ia hisap. “Aku mung arep gawe kesepakatan karo awakmu.” [2]

Galuh yang gamang, dan penuh tatapan kebencian semakin tegang setelah mendengar perkataan mengerikan itu. “Ke-kesepakatan apa?” 

Nyingkirke bocah sing jenenge Zulfikar.” [3]

Netra Galuh terbuka semakin lebar. Zulfikar? Tidak. Dia tidak akan bisa melakukannya. “Enggak! Aku ora bakal manut karo omonganmu!” [4] tolak Galuh tak gentar.

Ki Aji mematikan cerutu, dan bangkit. Ia menatap Galuh seperti binatang buas yang akan menerjang mangsa. Kakinya mengayun, mendekati gadis yang masih berusaha melindungi adiknya itu, hingga tanpa sadar dia telah tersudut oleh tembok. Ketika baru saja matanya menatap tembok di belakangnya, pria itu sudah mencekik leher Galuh. Tubuh gadis itu sampai sedikit terangkat. Kakinya tak lagi menyentuh lantai.

“Mbak Galuh!” Sakha baru akan memukuli Ki Aji, tetapi bawahan pria itu justru sudah membuatnya pingsan dengan memukul tengkuknya.

Wajah Galuh memerah karena tak mampu bernapas. Tangannya yang gemetar berusaha menjangkau Sakha, tetapi sia-sia. Anak laki-laki itu sudah berada dalam gendongan pundak antek-antek Ki Aji.

“Berani kamu membantahku!” bentak Ki Aji tepat di depan wajah Galuh. 

Galuh berusaha memberontak, mencakar, mencengkeram balik Ki Aji. Namun, usahanya sia-sia. Tenaganya nyaris habis, matanya mulai kabur. Ia sangat sulit bernapas. Melihat pemandangan itu, Ki Aji tersenyum, perlahan ia melepaskan cekikannya di leher Galuh.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang