Seorang pria berusia sekitar 40 tahun yang memakai udeng―blangkon motif batik parang curigo, berkumis tebal, memakai baju serba hitam mirip jawara palang pintu pernikahan datang mendekati Zulfikar dan yang lainnya. Perawakan yang besar, serta kaki kirinya yang ketika berjalan diseret membuat Zulfikar menelan salivanya dengan susah payah. Takut-takut kalau dia adalah orang jahat.
"Eyang meminta saya untuk menjemput kalian ke rumahnya," ucap pria itu dengan suara berat yang dominan medok logat Jawa dan datar.
Zulfikar melempar pandang pada Husain dan Mirza dengan bingung.
"Eyang Danar?" tanya Zulfikar.
"Jelasinnya nanti. Ayo ikut, sebelum semakin gelap." Pria itu berbalik, dan memandu di depan.
Dengan sisa tenaganya, Zulfikar dan Husain bangkit. Ketiganya lantas mengekor di belakang pria itu.
Mendekati gerbang, atensi Zulfikar teralih pada plang desa yang talinya putus sebelah. Ia berdiam diri sejenak, seraya memandang ke plang itu. "JA-MA-NI-KA," ejanya membaca tulisan yang mulai pudar. "Kenapa enggak dibenerin sih plangnya?" Ia heran.
"Hei, buruan! Mau ditinggal apa?" Husain memperingatkan Zulfikar.
Pemuda itu langsung tersadar dan berjalan menyusul Husain. "Bawel banget sih!" gerutunya.
Husain mendecak, "Kalo enggak mau dibawelin ya jangan bikin onar."
"Hm ..."
Selama perjalanan, Zulfikar memandangi tiap sudut tempat itu, dan tertuju pada suara sorak sorai sekelompok pria dewasa yang ramai-ramai duduk di gardu dengan penerangan minim. Ada yang mengguncang kaleng, menyulut cerutu, menyusup kopi hitam, dan tak lupa yang minum minuman dalam botol-botol kaca hijau-bening. Penampakan itu membuat Zulfikar geleng-geleng seraya beristigfar dalam hati.
"Apa yang mereka lakukan magrib-magrib begini? Apa lagi haid makanya enggak sholat?" celetuk Zulfikar yang membuatnya lagi-lagi tertinggal dengan langkah Husain. Ketika ia kembali hendak melangkah ...
Bruk!
"Ugh!" Zulfikar jatuh terduduk. Ia mendongak, dan mendapati sosok yang perawakannya tak jauh berbeda dengan orang yang menjemput mereka. Hanya saja pria ini tampak lebih berumur dari bapak berkumis.
"Sopo kowe?" tanya pria berwajah garang yang ditabrak dan tampak asing dengan Zulfikar. Ia menelisik Zulfikar dengan tatapan penuh curiga.
"Saya―"
"Sepurane, Mas Guntur ... cah-cah iki tamune Eyang. Tembe merene, dadi ra ngerti dalane," ucap pria berkumis yang sedari tadi bersama Zulfikar cs.
"Mlaku kok ora nganggo moto!" Pria berwajah garang itu langsung berlalu begitu saja.
"Mlaku mah nganggo sikil, Pakde," gumam Zulfikar, membalas ucapan pria itu seraya berusaha untuk bangkit.
"Jangan buat masalah di sini. Bisa-bisa ... bablas kamu nanti." Orang suruhan Eyang Danar itu kembali memandu setelah memberi peringatan pada Zulfikar.
Husain mendekati Zulfikar yang masih mematung. "Kambuh lagi, 'kan, penyakitnya?"
"Berisik!" balas Zulfikar.
Mirza berjalan mendekati keduanya. "Udah, jangan ribut di jalan," ucapnya. Ia melirik gardu yang ramai itu. "Mereka yang seperti itu ... memang udah biasa. Lengkapnya nanti kalo udah nyampe tempat Eyang Danar."
"Siapa sih Eyang Danar itu?" Zulfikar melipat kedua tangannya ke depan dada.
"Orang yang memberi persinggahan untuk kita. Dia kenal dengan Buya."
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritual[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...