XVIII. Hujan Pembuka Kitab Lara

183 57 2
                                    

"Sakit itu terkadang datang dari diri kita sendiri. Ketika kita mensugesti diri kita akan sakit, maka bukan tidak mungkin kalau itu akan menjadi sungguhan."

___________

Hujan pagi dengan intensitas ringan turun membasahi tanah, menguarkan petrikor yang memanjakan indra penciuman penikmatnya. Ketika yang lain sibuk memeluk cangkir teh yang hangat, sepasang kaki yang sudah terlalu lama beristirahat justru mencoba kembali untuk membuktikan kekuatannya dalam dingin. 

Perlahan dengan bantuan sepasang kruk yang dipegang kuat, Alif melangkah, membiarkan tubuhnya diguyur lembut oleh sang hujan. Perasaan menggelitik dari hujan dan rerumputan hijau yang basah sampai ke sarafnya.

"Lif …."

Alif menoleh, Selma menatapnya khawatir di teras rumah. Gadis itu tersenyum lembut. 

"Enggak apa-apa, Bu. Alif cuma kangen hujan-hujanan."

"Tapi ini masih pagi, Nak. Gimana kalau kamu sakit?"

Alif mengembuskan napas dan berbalik agar lehernya nyaman. Di balik tirai air, Alif coba menatap sang ibunda.

 "Sakit itu terkadang datang dari diri kita sendiri, Bu. Ketika kita mensugesti diri kita akan sakit, maka bukan tidak mungkin kalau itu akan menjadi sungguhan. Jadi, Alif hanya mensugestikan yang baik-baik aja, Bu, biar setelah ini baik-baik aja. Lagi pula, hujan itu rahmat dari Allah. Siapa tau malah bisa jadi penyembuh, kan?"

"Tap--"

"Tolong percaya sama Alif, Bu," pintanya dengan suara lembut.

Meski masih mengganjal, tetapi sejurus kemudian Selma mengangguk. "Tapi jangan lama-lama."

Dengan senyum mengembang, Alif mengangguk.

Kata-kata manusia es itu berguna juga rupanya.

Alif berbalik lagi, salah satu tangannya terjulur berusaha menangkap air langit yang sebenarnya sia-sia. Di salah satu sudut hati, Alif bersyukur untuk hubungan keluarga yang membaik. Namun, di sudut hati lainnya, ia merindukan seseorang.

Apakah hujan bisa menyampaikan rinduku padanya? Apakah dia yang jauh di sana juga merasakan getaran ini? Oh, Allah, ampuni aku jika berdosa karena telah merindukannya. Aku hanya tidak bisa menahan cinta yang memabukkan ini. Bisakah Kau buat dia cepat kembali agar bisa segera memenuhi janjinya?

* * *

Jika fajar adalah lambang kebahagiaan dan  harapan, maka senja memang pantas jadi lambang kesedihan dan perpisahan. Matahari yang berwibawa menyinari bumi dilengserkan oleh ketetapan batas cakrawala.

Di bawah permukaan tanah yang dingin, telah bersemayam raga dari jiwa yang telah kembali. Di samping pusara sederhana yang ditanami rerumputan dan bunga kamboja di balik nisan ini, pemuda berkacamata hitam dan setelah serba hitam memaku diri.

Ia menarik napas, dan mengembuskannya lagi berulang kali.

"Kenapa Buya pergi di saat kami masih butuh bimbingan? Kenapa Buya pergi di saat kami jauh? Tidakkah kau tau, Buya, kalau akhirnya itu juga menyiksa?" Ucapan lirih itu keluar begitu saja. "Bagaimana aku akan mengatakan ini padanya? Dia begitu menyayangimu … tapi Allah yang paling berhak lebih menyayangimu." Ia semakin tertunduk dalam kabut kesedihan.

* * *

Malam berhiaskan kabut setelah hujan telah bertahta dengan gagahnya. Sisa dingin yang menggigit kulit, perlahan diredam oleh lantunan merdu firman cinta. Menyisakan ketenangan hingga membuat anak remaja yang duduk di depannya kagum dan betah berlama-lama.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang