XXVI. Pemuda Kepala Batu

176 54 11
                                    

Tubuh Zulfikar refleks menegang. Rahangnya mengeras. Matanya terbuka semakin lebar. Bibirnya kelu ketika melihat orang yang sangat tidak ingin dilihatnya. Pemuda itu berusaha bangkit, melangkah pergi dengan emosi, menjauh ke mana pun agar tidak melihatnya. 

"Tunggu, Mas!" 

Bagai sebuah instruksi, langkah Zulfikar berhenti mendadak. Pemuda itu berbalik cepat, menatap Galuh dengan sinis. "Mau apa lagi kamu? Aku tidak ingin melihatmu. Pergi ... pergi dari sini!" pekiknya dengan nada tinggi.

Galuh, gadis itu bergeming, lalu tersenyum tipis yang sarat kegetiran. Haruskah dia bilang kalau dia ingin tau kabar suaminya? Haruskah dia bilang kalau dia merindukan Zulfikar? Atau dia harus bilang kalau tengah hamil anaknya? Terakhir kali dia menengoknya ketika Zulfikar terlelap, tapi ... tidak. Bukan itu tujuan utamanya datang kemari sekarang. "Aku hanya ingin mengatakan rahasia yang selalu disembunyikan di desa ini. Mungkin ini bisa membantu kalian menyelesaikan misi."

"Apa ini bagian dari rencanamu lagi?” Mata Zulfikar memicing. “Apa kamu berusaha menjebak kami?" Zulfikar mendengus, kemudian menggeleng. "Kamu benar-benar licik, Galuh! Kamu wanita ular yang menggunakan keluguanmu untuk menarik simpati, lalu melahapnya bagai tikus buruan!"

Galuh memejamkan matanya, menerima semua ucapan Zulfikar yang selalu menghunus hatinya tanpa ampun. Diembuskannya napas, coba mengurai sesak di dadanya. "Sakha …." Galuh memulainya. "Dia juga ada di sana. Ditawan bagai penjahat beserta keluarga lain di desa ini."

Kening Zulfikar mengerut, pun dengan Husain. Tak paham dengan ucapan yang Galuh maksud. 

"Termasuk aku yang menjebak  Mas Zulfikar." Zulfikar terkesiap, menatap Galuh dengan mata yang membola sempurna. "Aku terpaksa melakukannya demi Sakha. Jika aku menolak, maka nyawa Sakha yang jadi jaminan." Buliran bening di pelupuk mata Galuh tak sanggup bermuara lebih lama. “Di satu sisi, aku tidak mau melukaimu seperti ini, Mas.” Karena jujur, aku mencintaimu dengan tulus. “Tapi di satu sisi, nyawa Sakha bisa melayang seandainya aku berkata tidak. Aku tidak punya pilihan selain melakukannya demi keselamatan Sakha.”

"Bohong!" sergah Zulfikar dengan wajah tak percaya. "Dia pasti bohong, Hus!” Jari telunjuknya teracung pada gadis itu. “Semua yang dikatannya adalah bohong!" Zulfikar berjalan mendekati Galuh, sedikit menundukkan wajahnya yang masih lekat dengan amarah, berusaha menatap manik cokelat tua yang tak memandangnya. “Sekalinya manusia berbohong, selamanya akan jadi pembohong. Dan itu adalah dirimu, Galuh Mawardhani!”

Galuh mendongak, berseroboklah pandangan keduanya. Yang satu penuh ketakutan, kesedihan, dan ... cinta, lalu yang satu penuh amarah, kebencian, dan antipati.

Melihat ketegangan yang terjadi, Husain mendekati Zulfikar, menyentuh kedua bahu dan membawanya duduk kembali. "Tenang, Zul, tenang," katanya berusaha menenangkan. "Aku rasa dia tidak berbohong saat ini."

Zulfikar menepis kasar tangan Husain dan menatapnya tajam. "Setelah apa yang dia lakukan … masihkah kita harus percaya?” Zulfikar tertawa hambar. Tangan kanannya meremas rambut yang menutupi keningnya dan melepasnya lagi kemudian. “Kamu tidak ada di posisiku, Hus, makanya kamu tidak mengerti."

Husain mengatupkan bibir dan mengembuskan napasnya. Benar. Sekali lagi Zulfikar benar. Orang yang tidak ada di posisi terluka hanya bisa merasa simpati, tidak sepenuhnya merasakan apa yang dirasakannya. Tapi ... "Coba kita dengarkan dia dulu, Zul. Jika yang dikatakannya benar, bukankah kita akan bisa segera pergi dari sini?"

Pergi? Galuh seperti mendapat kejutan kotak pandora. Zulfikarnya akan pergi? Lalu … bagaimana dengan anak yang masih di rahimnya? Samar-samar, Galuh mengusap perutnya yang masih datar. Meski sudah berusaha meyakinkan diri kalau Zulfikar tidak akan pernah menerimanya, tapi tetap saja, jauh dilubuk hatinya, Galuh masih berharap dengan bayang-bayang kehidupan keluarga kecilnya nanti. Ada Zulfikar sebagai suami sekaligus ayah anaknya, ada dia sebagai istri dan ibu, lalu Sakha sebagai kakak, dan kemudian anak mereka kelak. Tapi ... mendengar ucapan Husain barusan, masihkah ada kesempatan mimpi itu terwujud?

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang