"Kamu sendiri juga tau, kalau perempuan itu apa-apa dibawa perasaan. Perhatian sekecil apa pun bisa dianggap cinta.”
_____[♢]_____
“Aku saranin kamu jangan deket-deket sama perempuan itu, Zul,” kata Husain yang duduk berseberangan dengan Zulfikar di ruang tamu. Zulfikar mengernyit bingung. “Takutnya kamu ngasih harapan ke dia. Inget ada hati yang harus kamu jaga,” pemuda jutek itu menambahkan.
“Harapan? Aku kan enggak pernah ngapa-ngapain, Hus? Bisa ngasih harapan dari mana coba?” Zulfikar berkata sedikit ngegas.
Husain mengembuskan napas perlahan. “Perhatian yang kamu kasih itu ... itu bisa memunculkan harapan, Zul. Kamu sendiri juga tau, kalau perempuan itu apa-apa dibawa perasaan. Perhatian sekecil apa pun bisa dianggap cinta.”
Kening Zulfikar berkerut semakin dalam. “Kan aku cuma coba nolongin? Masih normal kok.”
“Masalahnya, aku ngeliat ada tatapan yang beda, Zul.”
“Kamu indigo?”
“Ck, bukanlah! Bukan itu yang aku maksud.”
“Terus?”
“Galuh kayaknya ada perasaan sama kamu.”
Zulfikar terbatuk karena tersedak salivanya sendiri. “Ngawur kamu! Mana ada. Udahlah, enggak usah ngaco.”
“Aku enggak ngaco. Kamu enggak bisa lihat, tapi orang lain bisa. Dan siapa orang lain itu? Aku! Coba bayangin, ngapain Galuh rela nganterin makanan buat sahur di pagi buta? Kamu alasannya! Dari waktu kamu ngajarin dia syahadat, pandangannya emang udah beda, Zul.”
“Eshh ... apaan sih. Dahlah, enggak logis omonganmu.”
“Memang sejak kapan cinta itu logis? Aku memang bukan spesialis bidang abstrak kayak gini, Zul, tapi mataku enggak buta buat liat fenomena .”
Zulfikar mendengus. “Oke. Asal kamu tahu, Hus, tanpa dingetin buat jaga hati, aku selalu jaga.”
“Aku cuma khawatir kalo kebaikan yang kamu tunjukin malah dimanfaatin buat ngejatuhin dirimu sendiri. Makanya aku cerewet,” sanggah Husain tak mau kalah. “Enggak pernah ada yang tau manusia, Zul. Bisa aja, kan, berubah di tengah jalan.” Pagi ini Husain sangat banyak bicara. Kuping Zulfikar sampai panas.
Pemuda itu terdiam beberapa detik. “Masalah kebaikan, aku cuma berusaha jadi manusia selayaknya. Lalu tentang rasa, sejauh apa pun aku pergi, perasaanku selalu sama dan cuma berlayar di satu hati, Hus.” Husain diam menyimak. “Aku memang belum halal buat bilang langsung ke orangnya, tapi selalu bawa namanya di doa enggak masalah, ‘kan? Ya, walaupun aku ngebebasin dia sebelum kita berangkat ke sini.”
Husain bisa melihat kesedihan dari perubahan ekspresi Zulfikar. Seperti itukah cinta? Tidak ada kepastian dalam jarak meski begitu dalam mencinta. Masing-masing menyimpan ketakutan akan kehilangan, meski lisannya sudah coba mengikhlaskan dan menyerahkannya pada Tuhan. Husain bukanlah orang yang paham masalah percintaan. Dia tidak bisa berkomentar apa pun jika Zulfikar sudah bicara soal hati.
“Kamu yang paling tahu prinsipku, Hus.” Pandangan dua bersaudara itu pun berserobok.
Benar. Zulfikar memang punya prinsip yang keras. Jatuh cinta, mencintai, dan menikah sekali seumur hidup. Meski manusia itu bisa berkali-kali merasakannya, tetapi bagi Zulfikar, cinta itu abadi dan sakral, walau berbanding terbalik dengan fisik dan rupa yang bisa hilang. Dalam hal semacam ini, Husain kalah dalam pemahaman. Manusia yang mengesampingkan rasa dan lebih menjunjung tinggi logika mana mengerti soal cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritual[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...