Avicenna atau Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan Islam berjuluk Father of Doctor dengan karyanya yang sangat termahsyur Al-Qanun Fi at-Tibb. Nama tokoh itulah yang menjadi inspirasi Zulfikar untuk membangun tempat yang mungkin bisa menyembuhkan hatinya juga.
TPA Avicenna, begitulah tempat itu lahir dari gagasan Zulfikar yang didukung oleh warga dan sudah berjalan selama sebulan ini.
Pemuda yang masih berdiri di depan papan tulis hitam seraya memegang kapur itu tak jengah menebar senyum pada anak-anak di depannya untuk menutup pertemuannya.“Salman Al-Farisi adalah anak seorang bangsawan dari Persia yang menjadi salah seorang dari sahabat nabi. Dia punya kekayaan, jabatan, dan kedudukan yang tinggi di tempat tinggalnya. Meski begitu, hatinya memberontak dengan ibadah kaumnya sendiri.”
Zulfikar menarik napas dan mengembuskannya pelan. “Karena itu, Salman melakukan perjalanan, memilih meninggalkan keluarga, kekayaan, jabatan, tempat tinggal dan segala kemudahan hidup demi mencari kebenaran yang selalu dibisikkan hatinya. Salman pun belajar dari pendeta yang satu ke pendeta lainnya, hingga suatu ketika, Salman mendapat wasiat untuk menemui seorang nabi yang membawa ajaran Nabi Ibrahim. Apa kalian tau, yang Salman lakukan selanjutnya?” tanya Zulfikar untuk menghidupkan suasana.
“Tetap tinggal di desa itu dan hidup dengan baik?” terka salah seorang anak.
Zulfikar pun menggeleng dengan seulas senyum.
“Dia pasti tetap pergi untuk mencarinya,” sahut anak lainnya.
Zulfikar mengangguk, membenarkan ucapan. “Salman itu punya rasa ingin tau yang besar, sama seperti kalian,” ucapnya sembari tersenyum ramah. “Untuk bisa bertemu nabi dalam wasiat itu, Salman rela menukarkan sisa harta yang dia punya, berupa sapi dan kambing pada pedagang yang kebetulan melintas. Namun sayang, pedagang itu malah menjahati Salman dengan menjualnya sebagai budak. Tapi dari sanalah, Salman akhirnya bisa bertemu dengan nabi itu untuk belajar tentang Tuhannya, yang tidak lain adalah Rasulullah ....”
“Shallallahu alaihi wasallam ....” Anak-anak itu membarengi ucapan Zulfikar.
“Nah, adik-adik, itulah kisah penutup hari ini. Salman Al-Farisi banyak mengajarkan kita tentang pengorbanan dan ketulusan , juga bagaimana seharusnya kita menuntut ilmu dari orang yang memang benar-benar berilmu. Dari perjumpaan itu juga, Salman akhirnya menemukan kebenaran mengenai Allah, Tuhan yang sesungguhnya.” Zulfikar merapikan buku-buku di mejanya. “Karena sudah sore, Kakak tutup pertemuan hari ini. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Anak-anak itu pun berkemas, satu per satu menyalami Zulfikar dan keluar dari area masjid.
Zulfikar juga beranjak dari sana, hendak bertolak ke rumah Danar dan menjenguk Sakha yang masih murung meski Zulfikar selalu ada di sana. Hingga, sesuatu menghentikan langkah pemuda itu.
“Mas Zulfikar ....”
Yang bersemayam di hatinya ada di sana, berdiri memaku tatapan dengan mata sembab. “Tidak, ini pasti mimpi,” gumamnya. Zulfikar pilih berbalik, dan menjauh. “Ini pasti mimpi,” ucapnya sekali lagi.
“Mas!”
Zulfikar tidak menggubris panggilan itu. Dia terus melangkah, membawa jauh hatinya yang sesak jika benar orang itu nyata. Sampai sebuah tangan meraih lengan dan membuatnya terhenti. Diliriknya tangan yang menempel di pergelangan tangan.
“Kenapa kamu menghindariku, Mas? Ini aku, Alif tunanganmu.”
Tunangan? Mengingat itu hati Zulfikar memanas. Masih pantaskah disebut tunangan?
“Mas, tolong jangan seperti ini. Aku ... aku sudah tau semua kebenarannya. Aku tidak keberatan sama sekali dengan semua itu.”
Tapi aku keberatan, Alif.

KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritualité[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...