XII. Sebuah Peringatan

193 62 8
                                        

Masjid rusak kembali dan lebih parah dari sebelumnya. Tidak ada praduga paling kuat dalang di baliknya selain sang penguasa wilayah. Kini ketiga pemuda beserta Galuh dan Sakha sudah berada di sudut timur masjid, tepat di bawah pohon ketapang yang daun dan rantingnya tumbuh melebar. Tidak ada ambal, mereka gunakan terpal sebagai alas. Buku-buku cerita yang tidak lagi sempurna rupanya berjajar di atasnya. Itu adalah buku-buku cerita anak milik Eyang Danar. Beberapa di antaranya merupakan milik Zulfikar yang memang sengaja ia bawa. Dia memang pemuda yang suka dengan anak kecil.

Namun, suasana di sana justru menegang, seperti tidak diharapkan. Pak Kades tiba-tiba saja muncul beserta beberapa anak buahnya yang berseragam jawara. Pria berkumis dengan rahang tegas dan tubuh berisi itu tampak sangat angkuh. Ia berkacak pinggang dan menatap sinis Zulfikar dan yang lainnya. Ini adalah kali pertama mereka bertemu. Seutas senyum tiba-tiba muncul ketika matanya tertuju pada Galuh dan Sakha yang saling berpelukan. Ketujuh anak laki-laki yang diajak Angger juga sama takutnya. 

“Galuh ... piye kabarmu, Nduk?”[1] Ki Aji―Kades Jamanika bersuara dengan nada mendayu. Seperti menggoda, tetapi bercampur peringatan.

Galuh semakin mundur. Jantungnya berdegup sangat kencang. Napasnya tersengal. Tubuhnya tremor. Keringat dingin terasa mengucur di punggung. Ia mengencangkan dekapannya pada Sakha. Tak ada keberanian untuk menatap pria yang berusia empat puluhan itu. Zulfikar yang menyadari raut Galuh langsung pasang badan. 

Seketika Galuh mengangkat pandangannya. Di hadapannya ada punggung lebar berbalut koko putih. Hatinya tersentuh. Selama ini tidak ada yang pernah melindunginya seperti ini. Zulfikar .... Hati gadis itu menyebut namanya. Darah di tubuhnya terasa berdesir. Rasa aman perlahan muncul kembali. 

“Apa mau kalian?” kata Zulfikar dengan tatapan yang tajam. 

“Mau kami?” Ki Aji maju beberapa langkah. Namun, langsung dihentikan Husain dan Mirza yang mencoba menghadang. “Cih! Dasar cecunguk sialan!” Pria berkumis itu melipat kedua tangannya. Tatapannya semakin menantang ketiga pemuda yang menghadangnya. “Kowe wong teko gawe masalah ning kene. Terus awakku kon meneng wae ngono?”[2] Ia tertawa sinis dan semakin menajamkan matanya. “Ora iso!”[3] Tangan kanannya terangkat, seperti memberi isyarat.

Para centeng saling lempar pandang dan mengangguk setelahnya. Mereka bergerak maju, dan langsung mengobrak-abrik tempat itu. Melempar jauh buku-buku dan takjil untuk berbuka.

“Berhenti!” Zulfikar berusaha mencegah centeng-centeng itu mengacak taman baca. Baru akan menghalangi, tubuhnya terjengkang dan tersungkur ketika pria yang tubuhnya jauh lebih besar dari Zulfikar melayangkan tinju di perutnya.

“Zulfikar!” Galuh langsung menghampiri pemuda yang tengah meringis dan meringkuk di tanah seraya memegangi perutnya.

Sementara Husain, Mirza, dan Angger masih berupaya menyelamatkan taman baca, meski mereka akhirnya bernasib sama seperti Zulfikar. Ki Aji yang melihatnya hanya tertawa puas. Anak-anak yang di sana menjadi sangat takut, sampai akhirnya lari berhamburan.

“Lari, ayo lari kalian semua. Atau aku buat orang tua kalian seperti berada di neraka,” gertak Ki Aji.

“Hei, jangan lari!” Zulfikar menjulurkan tangannya untuk mencegah, tetapi rasa nyeri di perutnya tak kunjung mereda hingga membuatnya tak berdaya. Ia berusaha bangkit, tetapi terlambat. Anak-anak itu sudah jauh. 

Galuh yang ada di sampingnya jadi semakin panik. Haruskah ia membantu Zulfikar yang meringis kesakitan itu berdiri? Namun, bagaimana kalau ia justru ditolak? Air matanya pun jatuh tanpa diminta.

Beberapa menit berlalu. Semua centeng Pak Kades sudah kembali ke belakang pria itu. Zulfikar menatapnya sengit. “Ini peringatan buat kalian. Sampai melakukan hal yang macam-macam lagi, hm ... titenono!”[4]

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang