XVII. Kabar dari Kebenaran

168 60 0
                                    

"Dia pergi, tapi tidak akan pernah kembali lagi."

___________

Husain akhirnya memijakkan kakinya di pesantren, tepat pukul sepuluh malam. Masih hangat dalam ingatan, ketika ponselnya mendapatkan sinyal. Bergegas diteleponlah sang umi untuk menanyakan rumah sakit tempat abinya di rawat. Namun, tanggapan aneh malah membuatnya bingung. Maryam--ibunya Husain mengatakan bahwa sang abi baik-baik saja di pesantren. Tidak sakit atau apa pun.

Mendengar kabar itu, Husain memutuskan tetap mampir ke rumah sakit untuk kontrol dan membeli beberapa resep miliknya sendiri. Dia memang dokter, tapi dia tak bisa memastikan kondisinya sendiri yang belakangan ini terasa semakin memburuk. Baru setelahnya ia kembali ke pesantren.

"Jadi bukan Umi yang mengirim surat ini?" Husain menyerahkan surat yang didapatkannya tempo hari pada sang umi dan setelah Maryam membacanya ia  langsung menggeleng.

"Umi tidak pernah mengirimimu surat, Nak. Abimu saja baik-baik saja."

Bagaimana mungkin? Tulisan itu mirip sekali dengan tulisan uminya.

"Sekarang di mana Abi?" tanya Husain kemudian.

"Tadi ke masjid, paling bentar lagi pulang."

Husain menghempaskan punggungnya di kursi ruang tamu. Pikirannya semakin kacau sekarang. Berbagai praduga tentang konspirasi terselubung pun muncul begitu saja. Apakah Pak Kades berusaha memecah mereka? Apa yang akan dilakukannya setelah ini? Benar-benar licik!

"Gimana kabarnya Mirza sama Zulfikar? Warga di sana … apa mereka pernah melukai kalian?" Wajah Maryam yang semula tenang kini menyiratkan kekhawatiran. Husain masih bergeming. 

Tentu saja pernah, Umi. Husain sangat ingin berkata seperti itu, tapi takut membuat uminya semakin cemas. Tidak mungkin, 'kan, dia mengatakan kalau Zulfikar sudah terkena bogem mentah dari salah satu warga? Tidak mungkin juga, 'kan, dia mengatakan hal yang sebenarnya? Bisa-bisa dirinya tidak akan diizinkan berangkat lagi oleh sang umi. 

"Mereka baik-baik aja, Mi. Ada yang ngarahin dan nolongin kita kok di sana."

Maryam mengembuskan napas lega. "Alhamdulillah kalau gitu. Umi kira … bakal ada konflik yang bak--"

"Ya enggak lah, Mi," potong Husain. "Tenang, semuanya aman terkendali kok. Ya paling cuma warga yang keras kepala aja." Dalam hatinya Husain meminta maaf pada Maryam. Entah kenapa hatinya semakin tidak tenang setelah insiden ini.

"Oh, ya, Mi. Apa Buya ada di kamarnya? Husain mau ketemu buat ngomongin sesuatu."

Bak investigasi, wajah Maryam menegang seketika. Ia memainkan jemarinya di atas pangkuan. Pandangannya tertunduk dan perlahan menjadi sendu. Sekali lagi Husain dibuat bertanya-tanya.

"Mi?"

"Ikut abi sebentar, Husain." Tanpa ibu dan anak  itu sadari, Fahmi--ayahnya Husain rupanya berdiri mematung di bibir pintu dan mendengar percakapan mereka. Pria itu kemudian keluar lagi. Husain melempar pandang pada sang umi yang masih tertunduk, sebelum akhirnya ia bergegas menyusul Fahmi.

* * *

Husain menghempaskan kasar tubuhnya ke atas kasur. Berulang kali ia mendengus dan mengusap wajahnya. Ingatannya tak lelah mengulang kembali reka percakapan dengan sang abi, yang jujur membuat dadanya nyeri.

"Buyamu pergi, Husain. Dia meninggalkan kita."

Husain mengernyit tak paham. "Pergi? Ke mana? Apa pulang ke kampung halaman?"

"Tidak sepenuhnya salah." Ia mengalihkan pandangan pada putranya yang kini sudah beranjak dewasa. "Dia pergi, tapi tidak akan pernah kembali lagi." Ia kembali menatap sendu langit malam bertabur bintang. " Dia kembali ke kampung halaman yang sesungguhnya, Husain."

Saliva di kerongkongan husain seakan memadat hingga butuh daya lebih untuk menelannya. "M-maksud Abi?" Husain berharap kalau hati dan pikirannya salah tafsir ucapan Fahmi.

Fahmi mengangguk. "Allah sudah mengambil rasa sakitnya. Buya tidak lagi merasakan sakit, meski sekarang … kita tidak bisa ngobrol lagi sama dia."

Tenggorokan Husain seakan disekat tiba-tiba, aliran napasnya terputus beberapa sekon. Tatapannya gamang. Jantungnya berdegub kencang. Tubuhnya seolah terpaku meski kakinya perlahan kehilangan daya untuk menopang beban tubuh. 

"Enggak mungkin, Bi! Buya enggak mung--"

"Itu kebenarannya, Husain. Sangat menyakitkan, bukan?" Fahmi menarik napas, membiarkan oksigen kembali memenuhi paru-parunya. "Tapi dia sungguh sudah pergi. Tepat seminggu kepergian kalian, Buya dilarikan ke rumah sakit. Mungkin dia sudah lelah, menyerah, dan akhirnya memilih pergi dengan meninggalkan senyuman yang abadi." Suara Fahmi bergetar ketika mengucapkannya. 

"Kenapa Abi enggak ngabarin Husain?" Tanya Husain dengan wajah memerah dan mata yang sudah basah. "Kenapa, Bi?" Ia mengguncang lengan Fahmi sedikit kuat.

"Buya melarang. Dia tidak ingin membuyarkan misi kalian."

Konyol! Batin Husain meradang. "Dan Abi menuruti perintahnya begitu saja?"

Pelan, Fahmi mengangguk. "Ucapan seorang guru itu seperti sebuah perintah bagi muridnya. Kamu juga tau jelas, 'kan?" Fahmi menjeda ucapannya."Dan lagi, ini amanah dan keinginan terakhirnya."

"Apa Abi tidak memikirkan perasaan kami? Jawab, Abi!" Suara Husain naik satu oktaf. Untuk pertama kalinya ia bicara dengan nada tinggi ke orang tuanya.

Dengan tatapan sedih dan bersalah, ia menatap Husain dan memegang kedua bahunya. Pandangan mereka berserobok. "Karena memikirkan perasaan kalian, makanya Abi putuskan untuk menuruti ucapan Buya. Jika sampai kalian larut dalam duka dan lantas meninggalkan tugas, apa Buya akan bahagia? Kali ini saja, Husain, izinkan Abi bungkam."

Husain menepis tangan Fahmi di kedua bahunya. "Kalau begitu, biarkan kali ini Husain kecewa, Bi. Menyembunyikan hal penting seperti ini … juga tidak bisa dibenarkan, bukan?" Husain mundur beberapa langkah, berbalik, dan pergi meninggalkan Fahmi sendiri.

Dan inilah dia sekarang. Tidur terlentang seraya memandang sendu langit putih kamarnya. Rasa kecewa masih bergelayut di hatinya, meski tak seharusnya ia demikian. Sadar ia hanyalah manusia biasa yang hidup di akhir zaman. Sebuah pemakluman tentang hati … salahkah? Jika ia tidak pulang hari ini, akankah kabar kebenaran itu sampai padanya?

Husain memejamkan matanya. Ingatan tentang Buya kembali berputar layaknya rol film.

"Gimana aku bilang ke Mas Mirza dan Zulfikar nanti?" Zulfikar … ya, Husain kembali memikirkan suadaranya itu. Dia yang paling dekat dengan Buya dan bahkan menganggapnya sebagai sosok ayah. Rasa sayangnya pada pria paruh baya itu tentu sangat besar. Bagaimana jika dia tau kabar ini? 

Husain menutup matanya dengan lengan. Air mata yang hangat, luruh begitu saja dari pipi manusia berhati dingin.

__________bersambung___________

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang