Sudah memasuki ramadhan, tapi saujana mata Zulfikar dan yang lainnya tidak menangkap kegembiraan warga di bulan suci. Ketika siang rumah-rumah yang mayoritas berbentuk joglo itu tertutup rapat. Namun, ketika malam warga yang pria ramai memenuhi pos-pos ronda. Kepulan asap rokok, alkohol, dan kacang rebus menjadi amunisi pelengkap para penggila judi.
Kilatan ingatan tentang penolakan para warga beberapa waktu lalu berhasil membuat Zulfikar semakin resah. Makian, kata-kata kasar, bahkan sampai perlakuan bengis berhasil mereka torehkan. Sudah pasti itu adalah peringatan dari penguasa Jamanika agar mereka bertiga menyerah.
“Persiapan taman baca, dan acara buka bersama udah siap. Lusa bisa mulai dijalanin.” Mirza berkata. Ia menatap Angger. “Minta bantuannya, ya, Ngger, buat ajak anak-anak lainnya.”
Angger mengangguk pelan.
Benar. Ini rencana mereka. Membuat taman baca dan acara buka bersama. Setidaknya dengan merangkul generasi penerus akan membawa perubahan besar di masa mendatang. Lain halnya dengan orang tua yang cenderung keras dan sulit disentuh hatinya.
Sesaat keheningan melanda, hingga sebuah teriakan terdengar dari arah luar pintu mencuri perhatian.
“Tolong!”
Wanita berpakaian rok cokelat tua selutut dan kaos mocca dengan rambut acak-acakan dan raut panik datang tergopoh ke masjid tempat Zulfikar dan yang lainnya berada.
“Mbak Galuh?” Angger berkata. Ia bangkit dengan raut panik.
Galuh pun menatap Angger dengan sisa air mata yang tersisa. Ia lantas beralih menatap Husain. Napasnya masih tersengal karena berlari. “Pak dokter ... tolong selamatkan adikku.” Cairan bening yang sudah bermuara di ujung netranya pun luruh. Ia terduduk, bertumpu lutut di depan pintu utama masjid seraya mengaitkan jemari tangannya ke depan dada.
“Sakha kenapa, Mbak?” Angger menghampirinya. Sakha adalah adik Galuh. Angger selisih delapan tahun dengan anak itu.
“Kakinya kena paku, Ngger. A–aku enggak tahu harus gimana. Dokter jaga di puskes tadi dicari enggak ada. Barulah aku ingat kalo di rumah Eyang ada dokter juga.”
Husain tersentak. Ingat? Dari mana wanita asing ini bisa tau dirinya dokter? Padahal ia tak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai dokter di desa ini. Apakah ini ulah salah seorang di kediaman Eyang?
“Hus ....” Zulfikar menilik Husain yang masih duduk di tempatnya. “Buruan gih tolongin.”
Husain ragu. Bukannya apa, tapi ... pertama dia curiga. Bagaimana wanita itu tau dirinya dokter? Kedua, orang yang meminta bantuannya adalah wanita. Memang dia adalah seorang dokter, tapi dia juga tidak bisa mengaburkan batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan yang selalu ia jaga dengan ketat.
“Seberapa parah lukanya?” Husain mencoba mereda sejenak.
Wanita itu menggeleng lemah. “Aku enggak begitu paham, tapi darahnya keluar terus bahkan mulai bengkak. Sakha ... dia enggak sadarkan diri sekarang.”
Husain mengembuskan napasnya. “Sekarang dia di mana?”
“Di rumah.”
“Ada siapa saja di sana?”
“Hanya aku, sama Sakha.”
Husain mengatupkan bibirnya. Tidak mungin, ‘kan, kalau dia hanya berduaan dengan wanita yang bukan mahram dalam satu atap? Memang bertiga, tapi adiknya―Sakha sedang tidak sadarkan diri. Tidak! Dia tidak bisa pergi. Akan tetapi, mengabaikan orang yang butuh pertolongan apakah bisa dibenarkan? Terlebih tuntutan profesinya sekarang?
![](https://img.wattpad.com/cover/263233005-288-k439276.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritual[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...