XXII. Remuk

198 58 14
                                    

Jangan lupa istigfar :)
.
.
.
.
.
________________

Pernikahan seharusnya jadi hal yang sakral bagi setiap anak manusia. Di hadapan Tuhan, sepasang insan yang tadinya asing mengikat janji suci. Namun, berbeda dengan kali ini. Tidak ada dekorasi indah. Tidak ada sukacita kebahagiaan. Tidak ada keluarga besar yang mendampingi. Pernikahan ini hanya seperti permainan, tidak ada keseriusan apalagi cinta di dalamnya. 

"Zul!" Mirza menepuk bahu Zulfikar. Pemuda itu sudah menjabat tangan penghulu, tetapi sudah tiga kali pula Zulfikar tak menanggapi ijabnya. "Zul, ayo, jawab kabulnya." Zulfikar tetap diam. "Mas mohon. Ini demi kebaikan semuanya."

Zulfikar tak menjawab. Entahlah, dia hanya tidak bisa merasakan apa pun. Pikirannya tidak ada di sana. Biasanya mempelai pria akan grogi menjelang akad. Namun, dia tidak merasakannya. Tidak ada perasaan apa pun. Benar-benar kosong. Dan tanpa basa-basi lagi, penghulu menggerakkan bibir, mengulangi ijabnya.

Refleks, Zulfikar menjawabnya. "Saya terima nikah dan kawinnya Galuh Mawardhani binti Suryo Mawardhani dengan maskawin tersebut, tunai." Zulfikar mengucapkannya dalam satu tarikan napas. Semakin hancurlah hatinya. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Tangannya yang masih berjabat bergetar hebat.

"Bagaimana para saksi?" tanya sang penghulu.

"Sah …."

Sudut bibir Galuh tertarik ke atas, membentuk seulas senyum tipis. Sementara Zulfikar, pemuda itu seolah kehabisan tenaga dan langsung limbung. Kesadarannya pun hilang.

 "Zul!" Mirza mengguncang tubuh saudaranya. Namun, Zulfikar tak berkutik. Dia yakin, kalau ini karena luka dan lebam di tubuhnya yang belum sempat diobati.

"Ingat, sesuai kesepakatan masih ada ritual yang harus dilakukan!" gertak Ki Aji.

Dengan terpaksa, Mirza berusaha menyadarkan Zulfikar untuk ritual yang dimaksud. Pemuda itu mengerjap, keadaannya masih kuyu seperti orang sakit dan juga mabuk. Ia memapah Zulfikar, Galuh mengekor di belakangnya. Keduanya lantas dinaikkan ke tandu, dan dibawa ke suatu tempat, yang tidak lain dan tidak bukan adalah tempat pemujaan.

Setibanya, Mirza tidak masuk karena hanya yang bersangkutan yang bisa masuk. Tempat itu sangat lembab. Bau kemenyan dan amis membuat perut Zulfikar mual. Pemuda itu sempat menolak ketika diminta tunduk di hadapan patung pemujaan yang mengerikan. Sebelum bawahan Ki Aji menendang tulang keringnya dan membuat Zulfikar bertekuk lutut. Pun ketika diminta sujud, bawahan Ki Aji lah yang bekerja, dipantau langsung olehnya. Ki Aji tersenyum puas melihat derita Zulfikar.

Ketika Zulfikar dan Galuh sujud, Ki Aji membacakan semacam mantra yang tidak Zulfikar pahami, terlebih dalam kondisinya sekarang. 

"Sekarang kalian bangun dan minum ini." Ki Aji menyerahkan sebuah nampan berisi dua cawan kecil. 

"Apa ini?" tanya Zulfikar lirih.

"Tidak usah banyak tanya. Cepat habiskan!"

Mendengar itu Zulfikar menjadi kesal. Luka hatinya memang seakan dibiarkan terbuka terus menerus. Dengan amarah, Zulfikar mengambil salah satu cawan. Ketika air dalam cawan itu menyentuh ujung lidah, Zulfikar memuntahkannya dan terbatuk.

Dibantu bawahannya, Ki Aji memaksa Zulfikar menenggak habis minuman itu. Setelahnya, Zulfikar kembali tak sadarkan diri. Galuh langsung menghabiskan miliknya, dan mendekap tubuh Zulfikar.

"Mas?" Galuh menepuk pelan pipinya, tetapi tak ada reaksi apa pun. Apakah alkohol yang barusan diminumnya membuat Zulfikar tak berdaya? 

"Jaga dia. Tugasmu adalah mengawasinya dan laporkan jika dia melakukan pergerakan!"

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang