XXI. Demi Misi

179 53 7
                                    

Jangan lupa istigfar :)
.
.
.
.
.
____________

Zulfikar seakan kehilangan daya. Kakinya lemas hingga nyaris jatuh. Bagaimana bisa warga mengetahui kejadian ini begitu cepat? Bagaimana mungkin?

Pintu rumah dibuka paksa hingga menghasilkan debaman yang mengusik pendengaran. Warga menerobos masuk dengan tampang sangar dan murka. Pandangan dari dua kutu saling berserobok.

"Jadi ini kelakuan orang yang tampangnya sok soleh dan baik? Cih, dasar bejat bermuka dua!" Salah seorang memprovokasi dengan tuduhan yang begitu keji.

"Iso-iso, mengko bocah liane sing dilecehke! Kudu ati-ati iki!" [1]

Dada Zulfikar bergemuruh. Keringat dingin mengucur bebas di dada dan punggung telanjangnya. Wajahnya memucat. Telapak tangan dan kakinya mendingin seketika itu juga. Bernapas pun terasa sulit.

"Tidak!" Zulfikar menggeleng. Ini tidak seperti yang kalian lihat! Semua ini hanya fitnah!" Zulfikar berkata lantang karena memang dia benar. "Dia …." Telunjuknya mengarah ke Galuh. "Dia menjebakku. Ini tidak sep---"

Ucapan Zulfikar dihentikan dengan tinju di perutnya. Pemuda itu jatuh tersungkur, memegangi perutnya yang nyeri. Wajahnya merah padam, otot di pelipisnya juga sampai timbul karena menahan sakit.

"Halah, basi! Memang kalian yang berzina, tapi warga sini yang nanti kena azabnya!"

Azab? Batin Zulfikar. Ia tersenyum miring di kondisinya yang mengenaskan. Hipokrit memang! Pemuda itu bangkit dengan sisa tenaga yang dipunya. 

"Kalian takut azab,tapi berani menyekutukan Tuhan?" Zulfikar mendengar kabar ini dari Angger, bahwa ada pemujaan yang wajib diikuti oleh semua warga tiap sebulan sekali, tepat puncak malam bulan purnama. Jika tidak, mereka akan dihakimi massal. Bermain musik, judi, mabuk-mabukan, hingga bermain dengan wanita yang bukan mahram adalah rangkaian acaranya. Dia sangat ingin mengacaukannya begitu Husain kembali. Namun, takdir malah menyeretnya pada petaka ini.

"Apakah tidak sa---"

Lagi, sebuah tinju dilayangkan ke wajah Zulfikar, membuatnya kembali jatuh tersungkur. 

"Bocah bejat koyo kowe ora usah keakehan cangkem!" [2] Yang lain menimpali.

Bagai sebuah pemantik, warga lain langsung mengelilinginya dan juga turut menghakimi Zulfikar. Meninju perut, wajah, menendangnya, menginjak, dan memukul titik-titik vitanyal tanpa ampun bagai maling yang ketahuan mencuri.

Zulfikar meringkuk, berusaha melindungi tubuhnya, meski itu sia-sia. Dia kalah jumlah, tubuhnya tak kuasa menahan hantaman dan pukulan yang begitu membabi buta.

"Mas!" Galuh coba meraih tubuh Zulfikar, tapi warga menghalanginya. 

"Wis, kowe meneng wae. Opo kowe gelem koyo cah kae?" [3]

Galuh menggeleng ragu. Gadis itu gemetar, menggigil, menangis histeris karena hanya bisa menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Dia di sana, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Batinnya tersiksa. Sudah cukup dia menjebak Zulfikar, tapi tidak dengan menyakitinya secara fisik. Dia tiada mengira kalau warga yang notabene adalah orang-orang suruhan Ki Aji akan berbuat kejam seperti ini. 

Zulfikarnya tak berdaya. Zulfikarnya terluka. Apakah Zulfikar akan meninggalkan dirinya? Tidak. Galuh tidak menginginkannya. Tapi dia juga tidak ingin Sakha kenapa-napa. 

"Mas …." panggilnya sekali lagi. Tubuhnya terduduk lemas di lantai yang dingin. Di balik pandangan yang kabur, ia masih bisa melihat Zulfikar dianiaya.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang