XXIII. Bukan Layla & Majnun

205 62 8
                                    

Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia ini karena ia begitu mengangkat jiwa sehingga aturan-aturan kemanusiaan dan gejala alam tidak membelokkan alirannya.

― Kahlil Gibran

_________________

Zulfikar … dia seperti zombie. Raganya utuh, tetapi hatinya kosong. Cahaya yang bersinar dalam dirinya meredup, perlahan hilang ditelan kegelapan amarah. Embun yang menyejukkan jiwa telah mengering, terbakar terik kebencian. Dia kehilangan arah, kompas pemandunya cacat hingga menyesatkan dirinya semakin jauh dalam jurang keputusasaan. Dia berubah, cintanya berubah menjadi kebencian pada Sang Khalik. Senantiasa menyalahkan Sang Maha Adil atas ketidakadilan yang menimpa dirinya.

Padahal dia taat. Padahal dia rajin ibadah. Padahal dia rajin sedekah. Tapi kenapa? Di antara banyaknya manusia, kenapa harus dia―yang imannya masih naik turun―yang harus menerima tamparan seperti ini? Apakah ini ujian? Ataukah hukuman? Pada titik nadir, seringkali hatinya berharap bahwa orang lain juga harus rasakan yang sama agar mereka mengerti sakitnya. Egois memang, tapi bagaimana lagi cara mengobati luka hati yang sudah terlanjur memborok? Haruskah dia menerima takdir menyedihkan ini? Menganggap orang yang dibencinya sebagai istri yang harusnya dia cintai? Zulfikar tertawa hambar memikirkannya. Biar bagaimana pun hatinya tidak rela, dan tidak akan pernah terbuka untuk wanita lain.

Sudah berhari-hari lamanya dia seperti itu. Berdiam diri di kamar, tidak makan dan minum, melamun di atas tempat tidur, kadang menangis, kadang marah tanpa sebab, kadang pula tertawa, bahkan tak lagi beribadah. Galuh khawatir dan bingung harus bagaimana. Dia hanya bisa mengendap-endap setiap malam untuk merapikan kamar yang ditempati Zulfikar, karena memang selalu berantakan tiap kali dia masuk. Zulfikar selalu melempar barang di dekatnya ketika mengamuk. Kehadiran Galuh seolah menjadi pemantik sakit jiwanya.

Galuh sudah berpikir panjang. Awal malam ini dia akan memberanikan diri untuk masuk ke kamar, membawa nampan makanan dan minuman. Semoga tidak dibanting lagi. Dia sempat takut, kalau-kalau Zulfikar akan mengamuk seperti sebelumnya. Membuang makanan yang selalu ia bawa dan membentaknya dengan kasar.

"Mas?" Panggil Galuh pelan. Zulfikar bergeming, lengkap dengan pandangan kosongnya. Galuh duduk dekat Zulfikar, coba mengajaknya bicara. "Ma―"

"Apa maumu?" Zulfikar menatap tajam Galuh. "Apa kamu belum puas menghancurkan hidupku?" 

"A-aku―"

"Oh, aku tahu. Kamu datang kemari untuk meminta hakmu, 'kan?" Galuh tak bermaksud demikian, dia hanya ingin mengantar makanan dan mengajaknya bicara. Itu saja. Tidak ada maksud lain.

"Enggak, Mas. Aku cuma―"

"Sshhh …." Zulfikar mendesis, isyarat agar Galuh berhenti mengoceh.  

"Le-lepas!" Galuh coba berontak ketika Zulfikar mencengkeram erat pergelangan tangannya. "Sakit .…" Cengkeraman itu bertambah semakin kuat. 

"Sakit?" Sudut bibir Zulfikar naik sebelah, membentuk seringain tipis yang mematikan. Galuh saat ini sudah seperti mangsa yang ada dalam genggaman predator. Masih berusaha melepaskan diri, tetapi dia tak berdaya, Zulfikar terlalu kuat. Pergerakan Galuh justru membuat tangannya sendiri semakin terluka.

"Kenapa? Bukankah kemarin saat menjebakku kamu datang tanpa rasa malu? Kenapa sekarang jadi malu-malu?" Galuh bergidik ketika melihat perubahan ekspresi Zulfikar yang tiba-tiba. Wajah yang menyiratkan amarah sekaligus kebencian. "Bukankah seorang suami harus mencintai istrinya dan memperlakukannya dengan baik? Baiklah …." Zulfikar langsung menarik dan menghempaskan Galuh ke atas kasur dengan kasar. Tangan kanannya mencengkeram erat wajah Galuh. "Malam ini biar kuturuti keinginanmu!"

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang