XXVIII. Simpul yang Terurai

232 65 32
                                    

“Mas Mirza?” Zulfikar tersentak melihat kehadiran pemuda itu di sana. “Kenapa Mas―”

“Bisa ada di sini? Dan bukannya sakit lambungku sedang kambuh?” potong Mirza. Dia berdiri di sebelah Ki Aji, memandang Husain dan Zulfikar yang masih terkejut bergiliran. Tidak tahu mengapa, tiba-tiba saja sudut bibir Mirza tertarik sebelah. “Apa kamu menikmati skenario yang kuciptakan, Zulfikar? Ah ... pasti sangat menyentuh hati, bukan? Sampai-sampai membuatmu susah move on.”

Zulfikar mengernyit. “Skenario? Apa maksud, Mas?” 

“Ya ... semuanya, termasuk yang terjadi saat ini. Galuh sepertinya benar-benar berhasil menjalankan perannya,” balas Mirza santai, bahkan tak ada raut panik atau khawatir melihat kondisi kedua saudaranya.

Galuh? Apakah ini bukan rencana Ki Aji? Tidak! Tidak mungkin Mas Mirza dalang sesungguhnya.

“Hah ....” Mirza mengembuskan napasnya dari mulut, seolah baru saja melepaskan beban berat. “Kamu tau, sudah lama aku menunggu untuk menamatkan drama memuakkan ini.” Pemuda itu mengangkat salah satu tangannya. Dari arah belakang, salah seorang membawakan sesuatu dan langsung memberikan benda itu pada Mirza. “Ini ....” Pemuda itu menaikkan benda di tangan kirinya. “Belati ini akan mengakhiri ceritaku, Zul.”

Zulfikar masih tak mengerti dengan semua ucapan Mirza. Tadi skenario, lalu Galuh, dan terakhir Belati. Apa yang sedang pemuda itu bicarakan? “Mas ....” Zulfikar menggeleng. “Aku enggak ngerti mak―” Ucapan Zulfikar terpotong ketika Mirza menarik belati itu dari sarungnya. Matanya membola sempurna. Wajah Mirza kali ini tidak memancarkan kehangatan seperti biasanya. Seperti hanya ada ... amarah?

“Mas! Mas mau apa sama belati itu?” Husain menginterupsi ketegangan. Pemuda yang wajahnya sudah babak belur itu mulai panik. Pikirannya keruh, penuh praduga negatif yang mulai merajai alam pikiran. “Jangan bilang ....” Gumamannya tertahan, tetapi terdengar oleh sekitar. Enggak! Enggak mungkin Mas Mirza―

“Ya, Husain. Seperti biasanya, kamu memang cerdas dan langsung bisa mengerti.” Kerutan di dahi Husain semakin dalam. Gemuruh jantungnya semakin mendesak pernapasan.

Mirza menghela napas. “Misi Buya ....” Zulfikar dan Husain saling lempar pandang. Namun, bibir keduanya masih kelu untuk menginterupsi. “Aku yang membuat skenarionya, Zul.” Pandangan Mirza terfokus pada Zulfikar.

“M-maksud Mas―”

“Aku yang menciptakan semua kekacauan yang nyaris membuatmu gila, Zulfikar,” kata Mirza dengan ekspresi datarnya. “Aku berbohong dengan alasan melanjutkan studi beberapa tahun yang lalu dan selama masa itu, aku di sini, bahkan sebelum itu, untuk menciptakan naskah drama yang akan kalian perankan.” 

Saraf di tubuh Zulfikar menegang seketika. Matanya yang membola sempurna pun tak berkedip selama beberapa sekon setelah penjelasan itu. Bibirnya menganga tak percaya. “Apa yang Mas katakan? Mas, tolong jangan bercanda. Ini sama sekali enggak lucu!”

Mirza mengembuskan napasnya, dan memainkan belati yang sudah tanpa  sarung di tangannya. “Aku tidak pernah bercanda, Zulfikar. Menurutmu ... kenapa aku sering pergi dari rumah pria tua itu?” Zulfikar bergeming. “Tentu saja untuk mendiskusikan adegan lanjutannya, Zulfikar. Bersama Ki Aji yang kebetulan juga ingin membalas dendam dengan desa ini.” 

“Enggak!” Zulfikar menggeleng. Dia pasti bermimpi. Semua ini pasti tidak nyata. Mirza tidak mungkin melakukan ini padanya. Mereka bersaudara, masih satu darah meski berbeda ayah, bahkan dia rela berbagi orang tua. Apakah dia berusaha mengurai simpul itu? Sungguh, Zulfikar tidak bisa memercayainya. Ini bukan Mirza. Saudaranya tidak mungkin melakukan hal hina seperti ini.

JAMANIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang