[S E L E S A I]
"Urip iku urup."
Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika.
Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~•~
"Gimana mau menundukkan dunia kalo sholat subuh aja masih ogah-ogahan, masjid juga belum bisa ditaklukan?"
~•~
Suasana kamar Alif seperti biasa, sunyi. Hanya detikan jam yang menghiasi pendengarannya. Jam sudah menunjukkan waktu tengah malam, tapi mata gadis itu masih saja belum terpejam meski ia sudah dalam posisi siap untuk terlelap. Ucapan Ayu di Poskestren tadi terus terulang dalam pikirannya seperti kaset rusak.
Gadis itu mencengkeram erat selimutnya. "Kamu enggak ada di posisiku. Makanya kamu enggak ngerti rasa sakit itu, Yu."
Lamunan itu buyar ketika sebuah bunyi notifikasi pesan masuk ke ponsel Alif. Dalam gelap, ia meraba nakas untuk melihat pengirim pesan di tengah malam itu.
Seratus panggilan tak terjawab. Itu yang menarik atensi Alif ketika ponselnya menyala. Benar, ia mengabaikan panggilan itu seharian. Nama yang ada di sana tidak lain adalah 'Ayuk'―panggilan Alif untuk kakak perempuannya. Seakan tak menunjukkan rasa bersalahnya, Alif langsung menuju WhatsApp untuk menilik pesan yang berhasil membuyarkan lamunannya.
Nama yang sama dengan panggilan tak terjawab itu terpampang paling atas dalam deretan pesan yang belum dibaca. Merasa kasihan karena tak menjawab panggilan, Alif membuka pesan itu. Status dari pengirim itu online, yang seakan sedang menunggu balasan Alif segera.
Ayuk:Dek, Bapak baru aja kecelakaan. Kondisinya parah, dan kemungkinan besar Bapak lumpuh. Dia pengen ketemu kamu, Dek. Pulang, ya? Ayuk juga kangen sama kamu.
Alif bergeming setelah melihat pesan yang diakhiri dengan emot hati berwarna merah. Tak lama ponselnya berdering panjang. Ayuknya memanggil. Rupanya ia bergerak lebih agresif sekarang.
Lama gadis itu berdiam diri, membiarkan panggilan itu berhenti dengan sendirinya sampai kembali panggilan itu masuk. Alif mengembuskan napas. Akhirnya, perlahan dengan keraguan Alif mengangkat panggilan itu. Ia sedikit penasaran, apa yang sebenarnya ingin Ayuknya itu sampaikan. Apakah topiknya sama seperti pesan sebelumnya?
"Dek ... akhirnya kamu angkat juga telepon dari Ayuk."
Suara nun jauh di sana itu tampak bergetar. Apakah ia sedang menangis?
"Pulang, ya?"
Suaranya makin memelas. Apa yang perlu ia tangisi? Pulang katanya? Sekali lagi Alif mendoktrin dirinya sendiri, 'tidak ada rumah untukmu di sana, Alif'.