Pria yang dipanggil oleh Zulfikar itu berbalik. Memandang ke arah dua pemuda yang sedang berjalan pelan mendekatinya. Ia tersenyum tipis.
“Kapan pulangnya, Mas? Kenapa enggak balik ke pesantren dulu?” tanya Zulfikar.
Mirza Aidan Tsaqif―pria bermata sendu itu memang sedang melanjutkan studi S3-nya di Madinah, tepatnya di Universitas Islam Madinah. Pria berusia dua puluh tujuh yang tahun ini akan bertambah satu angka itu masih betah melajang. Meski Abi Fikri sering mengenalkannya pada wanita yang dirasa cocok menjadi pasangannya kelak, Mirza selalu menolak. Ia hanya berpesan, bahwa jika menemukan wanita yang cocok, ia akan menghadap Abi Fikri sendiri.
“Dua hari yang lalu. Sengaja memang enggak balik ke pesantren. Ada keperluan di luar soalnya.”
Zulfikar manggut-manggut. “Jadi ... Mas Mirza toh ... orang ketiga yang diomongin Buya?”
“Betul. Aku orangnya. Kaget?”
Zulfikar menggeleng. “Aku seneng karena orang yang Buya minta ikut itu Mas. Kupikir bakal orang lain. Seenggaknya, Husain enggak bakal bisa macem-macem.”
Husain merasa terpanggil. Ia pun memandang Zulfikar dengan raut tak terima. “Orang yang menyulut api justru melimpahkan kesalahannya pada orang yang terkena panasnya,” kata Husain dengan lirikan yang tajam lengkap dengan suara sengaknya. “Enggak logis.”
“Orang yang kena panasnya? Bukannya itu kamu yang gampang diprovokasi?”
“Cih ... gini nih kalo kakinya udah napak bumi. Kalo ngomong suka seenak jidatnya sendiri.”
“Heh ... kamu it―”
“Udah,” potong Mirza. “Perjalanan kita bakal lama. Jadi, jangan buang waktu buat masalah enggak penting.”
“Yok, Mas. Tinggal aja Zulfikar yang gak seberapa ini.” Husain menimpali.
“Kan Buya bilang bertiga? Kalo kamu ninggalin aku ... berarti kamu ngelanggar perkataan Buya dong?”
Pria berwajah cuek itu terdiam. Tak mampu berkutik dari ucapan Zulfikar yang logikanya benar.
Sementara Mirza, ia menghela napas merespons pemandangan klise di hadapannya itu. “Zulfikar, Husain, di sini Buya minta Mas buat jadi penengah kalian. Tolong jangan buat Buya kecewa karena Mas enggak bisa buat kalian akur.”
Zulfikar dan Husain terdiam. Mereka memang lebih muda dari Mirza. Tiga tahun selisihnya. Abinya Mirza sendiri adalah kakak dari abinya Zulfikar, serta abinya Husain. Oleh karena itu mereka bersaudara, satu kakek-nenek dari pihak ayah.
“Sekarang kalian ganti baju dulu.” Suara Mirza seolah menyadarkan Zulfikar dan Husain.
“Ha? Ganti baju?” tanya Zulfikar penuh kebingungan.
Mirza mengangguk.
“Kenapa harus ganti? Gini aja ‘kan enggak apa-apa.” Husain tak kalah bingungnya. Sebab di balik jaketnya yang panjang ia juga mengenakan baju koko berwarna putih.
“Menjaga agar tidak terkesan eksklusif. Kita akan coba berbaur, dengan tetap menjaga batasan untuk tidak melebur.”
“Bukannya malah bagus, ya? Siapa tau dengan penampilan kita ini bisa memotivasi mereka,” kata Zulfikar.
Mirza tersenyum. Memandang Zulfikar yang memakai kurta maroon dan sorban kotak-kotak hitam-putih berumbai yang melingkar di leher. “Memang benar, tapi enggak semua orang demikian, Zul. Manusia itu unik. Selalu punya penyikapan berbeda ketika menerima rangsangan, lalu mengolahnya dengan akal dan rasa hingga membentuk pola tertentu yang membuat tubuh mereka akhirnya bergerak sesuai dengan pola yang mereka ciptakan. Pun dengan persoalan semacam ini.” Ia mengembuskan napas ketika Zulfikar dan Husain tak berkutik. “Pokoknya ikuti dulu arahanku. Kalian akan mengerti ketika tiba di sana. Selalu ada alasan di balik sebuah putusan, bukan?”
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMANIKA
Spiritual[S E L E S A I] "Urip iku urup." Falsafah itu yang mengantarkan Zulfikar, beserta kedua saudaranya, Husain dan Mirza untuk menjalankan misi di sebuah desa bernama Jamanika. Berbekal janji dari Alif---tunangannya---yang harus Zulfikar tepati, dia be...