KS - 38

169 26 254
                                    

Selamat membaca .. 🤗

···

"Bang, aku takut papa marah," rengek Kara di dalam dekapan Dani. Dani mengelus rambut Kara, menenangkan adiknya.

Dani melepas pelukan, menatap mata jernih Kara yang sedang menatapnya takut. "Rileks, abang yakin ayah nggak bakal marah. Lagian, masalah kali ini bukan kamu, kan pelakunya? Tenang aja, abang bakal belain kamu."

"kalau gitu, abang harus belain aku, jadi tameng aku biar nggak diamuk langsung sama papa. Harus pokoknya!" putus Kara dengan cepat. Dani mengangguk.

"Ya udah yuk, kita ke bawah. Ayah pasti lagi nungguin kita di ruang tamu." Kara menatap Dani ragu. "dibawa rileks, dek," suruh Dani. Kara menarik napas terus membuangnya. Kemudian mengangguk yakin.

Berjalan duluan dengan langkah percaya diri menuju ruang tamu. Namun, belum sampai menginjakkan kaki ke tangga pertama, rasa percaya diri itu menciut membuat Kara mundur secara teratur. Dani yang ada di belakangnya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis.

Kara berbalik, menatap sendu Dani. "Bang, takut."

Dani merangkul Kara. "Apa yang ditakutkan sih? Ayah nggak bakal marahin kamu. Percaya deh sama abang."

"Tapi, bang ...."

"Udah yuk ke bawah aja langsung. Kayak pertama kali kena diskors aja kamu dek."

"Iya juga sih. Kan papa udah tau aku sering diskors. Kenapa aku harus takut sekarang coba? Aneh ih!" omelnya membuat Dani terkekeh. Adiknya sangat unik.

Kara berjalan menuruni tangga dengan degup jantung yang tak beraturan. Takut sekali rasanya. Berjalan sedikit menuju ruang tamu, di mana papa dan mamanya sedang duduk di sofa dengan baju santai. Kara berjalan menuju keduanya dengan menggigit kuku karena gugup. Dani yang melihat itu, menarik tangan Kara ke bawah, menghentikan pergerakan Kara. Kara menoleh.

"Rileks. Nggak papa," gumam Dani menenangkan Kara. Kara berusaha rileks dan berdiri tepat sebelah sofa yang diduduki Galuh, papa Kara.

"Pa," panggil Kara, Galuh menoleh, dengan cepat Kara terduduk dengan lutut menjadi tumpuan menaruh tangan di paha Galuh sembari menunduk. "Pa, maafin Kara, Pa. Kara sering buat masalah dan sekarang Kara kena hukuman diskors lagi."

Kara mendongak dengan wajah bersalah. Galuh hanya diam memperhatikan. "Maafin Kara, Pa. Jangan marahi Kara. Kara janji nggak bakal bikin masalah yang ujung-ujungnya diskors lagi. Suwer deh!" Galuh mengangkat tangannya, membuat Kara kembali menunduk takut papanya memukulinya.

Bukan pukulan yang dia terima, namun elusan papanya yang membuatnya merasa nyaman. Kara mendongak, menatap Galuh dengan berkaca-kaca. Galuh tersenyum. "Mana bisa papa marah sama anak gadis kesayangan papa ini. Apalagi kamu-nya nggak salah di sini."

Kara mendongak dengan binaran mata yang terlihat jelas. "Bener, Pa?"

Galuh meraih sebelah tangan Kara. "Nggak mungkin tangan sekecil ini bisa membuat orang lain terluka. Nggak terbayang di pikiran Papa kalau kamu beneran melakukan kekerasan. Untung aja kali ini hanya kesalahpahaman. Tapi untuk kedepannya, jika Kara ada masalah jangan biarkan emosi mengendalikan kita. Karena jika kita mengikuti emosi maka hal yang nggak baik datang tanpa diundang," Galuh menasehati Kara dengan perkataan yang terbilang halus.

"Jadi, jangan gegabah walaupun kita dalam keadaan emosi. Sampai di sini paham?" lanjut Galuh bertanya. Kara mengangguk, berdiri memeluk papanya.

"Sayang Papa!" pekik Kara. Galuh mendekap erat tubuh Kara, mengelus punggung anaknya sembari tersenyum tipis. Intan dan Dani hanya bisa tersenyum melihat kedekatan yang terjalin di antara anak dan ayah.

KARA |Serendipity|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang