KS - 19

225 85 178
                                    

Jangan lupa vote-nya dong ~! Terimakasih

••

Kara berjalan menyusuri koridor demi koridor, melihat sekeliling, dan bertanya pada beberapa orang yang ada di sana.

Ia mencari keberadaan sosok Arsa yang sudah pergi ke suatu tempat, ia ingin bertanya dan menyelesaikan masalah yang muncul di kantin.

"Arsa lo di mana?" gumamnya frustasi, dia mulai berpikir tempat lain mana yang belum dia kunjungi?

Sebentar, sepertinya ada yang luput dari atap, dia belum mengecek keberadaan Arsa hingga atap atas.

Kakinya yang panjang mulai menaiki lantai dengan cepat, dia mulai berlari di tangga yang menghubungkan atap dan berharap Arsa ada di sana.

Dia membuka pintu dengan napas terengah-engah, tidak ayal matanya mulai menyapu bersih seluruh atap. Dan, netra miliknya menangkap sosok Arsa yang sedang tidur telentang dengan tangan yang ia tumpuk di keningnya.

Kara menghampiri Arsa, dia tampak berpikir sebentar, lalu menepuk pundak Arsa dengan ringan. Arsa yang tadinya terpejam terpaksa membuka lebar matanya, kaget sekaligus terganggu.

Saat pandangannya tertuju pada Kara yang berada di sampingnya, dia duduk dengan pandangan mengarah ke depan menghadap gedung pencakar langit.

"Ngapain ke sini? Nggak mau nemenin dia, lagi?" Kara mendesah kesal. Dia benar-benar tidak mengerti situasi saat ini. Lalu, Kara duduk di samping Arsa, memandang Arsa dari samping dengan tatapan serius dan rasa bersalah.

"Sa, lo kenapa?" Arsa cepat menoleh, menatap wajah Kara dengan cermat, setelah itu dia mengalihkan perhatiannya ke hiruk pikuk kota.

"Kenapa apanya? Gue nggak papa kali." Kara menggeleng kecil, bukan itu yang ingin ia pertanyakan.

"Bukan, gue mau nanya kenapa lo mukul si Saga tadi? Pasti ada alasan, 'kan, lo mukul dia gitu? Alasannya apa? Kasih tau gue."

"Kenapa? Lo nggak rela gue pukul tuh cowok? Atau lo nggak terima cowok itu memar gegara bogeman gue?"

"Kenapa sih, lo sensi banget. Gue udah nanya baik-baik," ucap Kara dengan menahan kekesalannya. "... dan lagipula, gue, kan, penasaran kenapa lo tiba-tiba pukul si Saga, padahal lo baru liat dia ada di sini," lanjutnya.

"Gue biasa aja kali, lo nggak usah lebay. Dan, kenapa lo nanya-nanya, kenapa lo nggak nemenin tuh cowok dan bantu obatin wajah buluknya dari bogeman gue tadi. Udah buluk tambah buluk dah tuh orang sekalian."

"Sa, gue serius."

"Berharap banget gue seriusin."

"Sa, gue mohon sama lo, tolong kasih tau gue alasan dibalik lo mukul tuh cowok."

Arsa terdiam cukup lama membuat Kara gregetan.

"Gue merasa ...." Kara menoleh setelah seperkian detik diabaikan oleh Arsa dan memandang Arsa minat. "Tuh cowok, nggak baik buat lo," lanjut Arsa memandang Kara.

Kara mengernyitkan dahi heran. "Nggak baik? Maksud lo? Yang jelas kek, gue kurang paham."

"Emang dasarnya otak lo tri G, pasti ram penyimpanan otak lo kepenuhan. Hati-hati kalau dipaksa otak lo bakal meledak."

"Ih Arsa, yang bener dong!" Reflek tangan Kara mencubit lengan kekar Arsa, membuat pemilik lengan itu meringis kesakitan dan dia tidak bisa menahan tawa melihat wajah Kara yang kesal tapi itu terlihat lebih manis di mata Arsa.

Setelah beberapa menit, Arsa tertawa melihat ekspresi kesal Kara dan geraman Kara terhenti. Dan kemudian tiba-tiba menjadi serius.

"Pokoknya lo jauhin tuh cowok, feeling gue mengatakan tuh cowok nggak baik buat lo. Yang ada otak tri G lo itu tersebar virus sok kekaleman, padahal aslinya tuh ganas melebihi buaya darat." Lagi lagi Kara mengernyitkan dahi heran, ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud yang Arsa katakan barusan, membuat Arsa lagi lagi tertawa melihat wajahnya.

KARA |Serendipity|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang