Kara buru-buru memasukkan alat tulisnya ke tas. Dia baru saja selesai menyapu lantai kelas, karena jadwal piketnya hari ini. Faktanya, ketua kelas menyuruhnya untuk piket hanya di pagi hari agar tidak pulang terlambat, namun, gadis itu selalu menunda-nunda dan akhirnya dia piket sendiri-membersihkan kelas yang kotor bak kandang sapi.
Kara menyelipkan tali ransel ke bahu-berjalan menyusuri lorong penghubung gedung dan gerbang sekolah. Dirinya mengambil benda datar favoritnya di kantong terkecil tas, telepon genggam. Dan mulai menelepon ibunya untuk segera dijemput. Setelah dikabari oleh ibunya yang sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya, Kara duduk di pos satpam dengan kaki terayun ke bawah. Menatap ponselnya yang menampilkan deretan kata-kata membentuk sebuah cerita dari platform dengan sampul berwarna oranye berisi segudang cerita dengan berbagai genre.
Dari kejauhan, seorang pria berseragam tanpa kancing dan kemeja hitam polos yang melekat seakan mencetak badannya, memperhatikan Kara. Teman-temannya yang lain pergi begitu saja meninggalkannya di sana. Dia baru saja mengangkat tangannya saat salah satu temannya mengajak Arsa ke tempat parkir dan lebih memilih berjalan menuju tempat Kara berada.
Arsa berdiri tepat di depan Kara. Kara hanya diam dan tidak merasa diperhatikan, sibuk dengan ponselnya. Merasa diacuhkan oleh Kara, Arsa dengan paksa menarik ponselnya dari genggaman gadis itu. Kara yang kaget memukul perut Arsa dengan keras.
"Eh ... Arsa, hehe. Ngapain lo di sini?" ucap Kara dengan gelisah. Dia malu untuk menunjukkan wajahnya di depan Arsa saat ini. Dia malu meneriaki orang yang tidak bersalah dan membela penjahat dengan menyamar sebagai wanita yang tidak bersalah.
Arsa tidak bergerak, dia tidak membuka suaranya tapi matanya sibuk menatap Kara dengan tajam. Membuat Kara tergagap dan mencoba mengalihkan pandangan dari Arsa, namun matanya kembali menatap Arsa.
"Eh ... itu hp gue, balikin dong, Sa," kata Kara sambil menunjuk ponsel yang dipegang Arsa. Arsa menoleh ke ponsel yang dipegangnya.
"Mau ini?" ucap Arsa mengangkat tangan berisi ponsel Kara di depan Kara. Kara mengangguk dengan wajah lugunya. Arsa mendadak terdiam.
Kara mengibaskan tangannya di depan wajah Arsa yang tampak bengong. Kara bertanya-tanya mengapa pria itu tiba-tiba terlihat seperti seseorang yang sedang mengalami kebingungan yang mendalam?
"Eh! Lo kok bengong, sih? Sini balikin hp gue," kata Kara terlihat kesal pada Arsa. Lamunan Arsa langsung hilang, wajah Kara kembali mendominasi pandangannya. Ah! Perasaan sakit dan cinta yang masih ada pada Syakira membuat Arsa linglung.
Arsa mendekati wajahnya ke telinga Kara. "Gak semudah itu ... sayang," dia berbisik pelan, membuat bulu kuduk Kara merinding. Kara agak menjauhkan tubuh dari Arsa yang berada dalam mode... err... aneh.
"Arsa! Lo jangan kek gini, bego! Lo kira gue bakal baper karena lo panggil gue sayang? Nggak!" Iya!
"Jadi, balikin hp gue sebelum gue teriak kalau lo mau berbuat mesum ke gue! Cepetan balikin!" ucap Kara kesal menatap Arsa tajam. Arsa hanya diam tanpa bergerak.
"Balikin hp gue, Arsa!" teriak Kara tepat di depan wajah Arsa sambil mengulurkan tangannya ke arah Arsa membuat Arsa menjauhkan diri dan melakukan ritual meniup kepalannya dan memasukkan telinganya. Berharap angin yang ditiup dapat mencegah terjadinya kerusakan pada gendang telinganya yang berdengung.
"Mampus!" gumam Kara, membuat Arsa mendelik.
"Astaga gue gemes pengen copot ginjalnya!" Arsa bersorak di dalam hati. Gadis itu memiliki banyak cara untuk menghilangkan citra 'pria tampan yang tenang' yang dia pegang sekarang, membuatnya emosional sejak dia berada di kantin satu setengah jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KARA |Serendipity|
Teen FictionTentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang kisah cinta keluarga dan teman. · • Dua insan yang saling membutuhkan, dipertemukan oleh kejadian yang tak terduga. Benih-benih cinta pun ha...