Part 4

549 91 3
                                    

Tanpa halu, dunia terasa hambar. - Zee.

~RECOGNIZED~

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Kenapa harus pake hm, sih, Jaenudin?!" Zee menggigit jari telunjuknya. Gadis itu bahkan sudah salto depan salto belakang. Membuat Jiwa yang tengah menonton televisi di sampingnya terusik.

Cowok itu merampas ponsel adik perempuannya. Sukses membuat iris bening nan kelam milik Zee memancarkan cahaya dendam yang begitu kontras.

"Bang, apaan sih?!" tanya Zee dengan nada sewot. Cewek itu mengangkat kepalan tangan, lalu menyimpannya di depan mulut. Bibir gadis itu terlihat komat-kamit membaca mantra sebelum akhirnya ..., "hah!" Zee meniup kepalan tangannya. "Udah gue kasih ajian, nih. Enaknya mendarat di pipi kiri apa kanan?"

"Lo bisa diem gak, sih? Dari tadi nyerocos mulu, cekikikan sendiri, kalo enggak nangis kejer. Stres gue mikirin akhlak lo!" Jiwa tidak bohong. Ia benar-benar sudah frustasi menghadapi tingkah adik satu-satunya itu. Berhadapan dengan Zee selalu berhasil membuat tensi darahnya naik drastis.

"Bang, lo tuh kenapa sih, gak bisa liat adek sendiri seneng? Bahagia gue itu sederhana, Bang. Cuma baca kalimat kenapa hm aja bisa bikin gue senyum-senyum sendiri. Gue gak pernah minta lo ngelawak supaya bikin gue senyum. Cukup si Juleha aja yang bikin darah gue mendidih, lo mah jangan." Zee nyerocos dengan telapak tangan menopang dagu. Kemudian kembali merampas ponselnya dengan gerakan kasar. "Jangan ganggu!"

Zee melanjutkan membaca cerita genre teenfic yang terhambat oleh Abangnya tadi. "Haha ... mampus lo pelakor! Kan, ketauan, kan! Gue juga bilang apa, lo gak akan bisa ngalahin tokoh utama. Modar lo Juleha!" Celetukan keras tercetus dari mulut Zee. Jiwa sontak kembali mendelik ke arahnya. Namun, Zee sama sekali tidak terganggu dengan tatapan tajam tersebut. Gadis itu justru merampas stoples keripik singkong dari pangkuan Jiwa.

"Mau ngucap istighfar, tapi takut susu Zee kebakar," ungkap Jiwa. Bola mata hitam itu terpusat kembali pada layar televisi—dimana sebuah acara berita menampilkan beberapa remaja yang menjadi juara dalam lomba triwulan karate internasional.

Xeanzi datang dari arah dapur. Wanita dengan celemek melekat ditubuhnya itu menyodorkan uang pecahan senilai tiga ribu rupiah kepada si bungsu. "Zee, tolong belikan garam ke warung Bu Dinah."

Kalo yang nyuruh Abangnya, tentu Zee akan menolak mentah-mentah. Namun, ini mamanya—Ibu Negaranya tercinta. Mana bisa Zee menolak.

Gadis itu menyimpan ponselnya di atas sofa. Mengerahkan seluruh tenaga, Zee berlari ke warung Bu Dinah yang jaraknya tak jauh dari rumah.

Memastikan adiknya telah keluar, Jiwa segera menyambar ponsel tersebut. Mengutak-atik jemarinya dengan gesit di papan keyboard. Dengan jantung yang seakan melompat-lompat, pemuda itu terus mencoba membuka layar kunci ponsel adiknya.

Tak sampai tiga menit, gadis itu sudah kembali diiringi nafas yang ngos-ngosan. Dengan langkah terpogoh-pogoh, ia berjalan menuju dapur untuk menyerahkan garam kepada mamanya. Dan kembali ke ruang keluarga untuk segera melanjutkan maraton Wattpadnya.

"Ini kata sandinya apa, sih? Pokoknya hari ini gue harus berhasil ngehapus tuh aplikasi. Biar si Zee gak makin gila. Ketawa sendiri, tengah malem nangis-nangis sendiri. Kan gak lucu. Gue jadi ngerasa melihara anak kunti." Tanpa lelaki itu sadari, Zee telah berdiri di belakangnya. Gadis itu mendekat lalu berbisik tepat di telinga abangnya. "Kata sandinya, Jiwa kampret."

Bagai mendapat setetes air di gurun pasir, hati Jiwa senang bukan kepalang. Jari-jari panjang bergerak lincah mengetik di layar ponsel. "Kok salah, sih?" Seakan tersadar, pemuda itu perlahan menolehkan kepalanya ke belakang. Mendapati Zee yang tengah berdiri sambil berkacak pinggang tak lupa sebuah sapu lidi bertengger manis di tangan kanan.

RECOGNIZED(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang