Part 7

426 82 11
                                    

Gebetan gue adalah mahakarya paling eksentrik yang Tuhan ciptakan di muka bumi.- Gasta

~RECOGNIZED~

‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Ya Robbun, jantung gue!" pekik Zee sembari melempar ponsel pintarnya ke atas sofa.

Jiwa yang tengah memakai sepatu, sontak menoleh lalu bergumam, "Kumat lagi."

"Isya yang di baperin tapi kenapa gue yang baper?! Ya Robb, jadi pengin peluk Alexnya!"

"Berisik. Mulut lo minta di sianida?" Jiwa menegakkan tubuh, lantas mengambil ponsel bersilikon kelabu dengan logo sabuk hitam di bagian belakang.

"Bang sini baca ALEXSYA, gue jamin lo gigit jari ampe buntung saking bapernya."

"Sayur pare sayur tomat, i don't care bodo amat!" Jiwa kemudian menyampirkan ransel hitam di sebelah bahu.

"Mau kemana, Bang?" tanya Zee. Tangan panjangnya memungut benda pipih yang ia lemparkan tadi ke atas sofa.

"Latihan karate." Cowok dengan sabuk cokelat melingkar di pinggangnya itu melangkah, hendak keluar rumah.

Latihan karate? Ikut ah, siapa tau ada si Alphabet, batin gadis itu. "Abanggg!" teriak Zee spontan menghentikan langkah kaki Jiwa.

"Abang ganteng, ikut dong!" Zee mengikat rambutnya dengan asal, lekas berlari menghampiri Jiwa yang telah menjejak di ambang pintu.

"Maaf, tempat latihan gue gak nerima orang tolol."

Tanpa mengindahkan hinaan abangnya, Zee langsung duduk diatas jok motor. "Ayo, gak usah banyak omong kalo gak mau gue sunat!"

***

Netra Zee bergulir, menatap sebuah gedung luas yang biasa Jiwa sebut Dojo-—tempat khusus latihan karate. Suasana begitu tenang, nyaris tidak ada hiruk-pikuk sedikitpun. Debu-debu halus yang berterbangan juga tidak terlalu banyak. Luar gedung tersebut di kelilingi hamparan rumput Jepang. Sebuah pohon beringin besar, bertengger manis di samping halaman sebagai peneduh ketika sudah selesai berlatih.

Karena kapasitas gedung yang tidak mampu menampung terlalu banyak umat, latihannya dibagi menjadi dua staf. Ada yang di luar; di hamparan rumput, ada juga yang didalam gedung.

Jiwa menyuruh Zee untuk berteduh di bawah naungan pohon beringin lantaran cuacanya terbilang cukup terik. Gadis itu menurut. Sementara Jiwa ikut bergabung bersama karateka lainnya.

Dari bawah pohon, Zee menatap Gasta yang tengah berdiri di samping Jiwa. Pemuda itu nampak bersemangat dan begitu giat. Zee mengintai setiap gerak-geriknya; ketika tangan kekarnya meninju udara, tendangan kakinya yang begitu mantap, dan bentuk tubuhnya yang bergerak elastis. Setiap kerjap matanya, tak luput dari penglihatan Zeenata. Bahkan, peluh yang bergulir dari kening hingga dagu, berhasil gadis itu rekam di dalam memori otak. Oh, tidak. Sepertinya Zee mulai gila. Gadis itu meraup wajah. "Tahan Zee tahan gak boleh teriak."

Sebenarnya ingin sekali ia berteriak sekencang mungkin; meneriaki bahwa Gasta adalah jodohnya, dan Zee yakin itu.

"Tenang Zee, dia jodoh lo. Oke, saatnya ngehalu." Membaringkan tubuh di hamparan rumput, perlahan kelopak matanya tertutup, hingga ia terlelap sambil memimpikan sang pujaan hati.

Satu jam berlalu, Jiwa dan Gasta menghampiri Zee yang masih tertidur berbantalkan sebelah lengannya. Jiwa membuka segel botol air mineral, lalu mengguyur wajah adik perempuannya. "Bangun, Zee. Gak di rumah gak di luar. Molor terus!" cibir pemuda itu.

"Banjir! Banjir bandang! Jodoh gue kebawah banjir!" pekik gadis itu begitu terbangun dari mimpinya.

Samar-samar Zee melihat Gasta yang tengah berdiri di hadapannya. Dia menghela nafas sambil tersenyum tipis. Alhamdulillah, jodoh gue masih disini. Dikira kebawa banjir, batin gadis itu.

RECOGNIZED(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang