Part 3

581 111 8
                                    

Mau tau kunci langgeng persahabatan? Cari yang sefrekuensi. - Ganta.

"Zee!" Irsya melambaikan tangannya dari pijakan tangga terakhir. Zee tersenyum. Gadis itu melangkah cepat menghampiri cewek dengan balutan rompi kotak-kotak yang kini sudah menjadi temannya.

"Itu apa?" tanya Irsya menunjuk kota yang dipegang oleh Zee.

Zee membuka kotak tersebut lalu memperlihatkannya kepada Irsya. Disana terdapat beberapa makanan serta camilan, dan ..., "Hey, apa itu?" Irsya mengambil sebuah benda bulat berwarna merah yang terbuat dari aluminium.

"Ini apa?" tanyanya sembari menyodorkan benda tersebut.

"Itu paku payung merah raksasa. Gila, gue nyari benda itu ampe ngelilingin pasar loak dan cuma ada warna perak. Ya udah gue cat pake kutek," celetuk Zee. Netra kelamnya bergulir. Masih pagi namun suasana sekitar sekolah sudah cukup ramai dipadati siswa-siswi.

Irsya cengo kemudian menepuk jidatnya. "Yang bener aja, mereka nyuruh bawa paku payung ...? Zee, mereka tuh nyuruh kita bawa loli hot-h*t. Kenapa kamu malah bawa yang ginian?"

"Masa, sih? Apa gue salah nulis, ya? Tapi beneran kok, mereka nyuruh bawa paku payung merah raksasa." Kemarin, sehabis pulang sekolah Zee langsung pergi ke pasar loak. Tadinya, ia ingin mengajak Jiwa, hanya saja lelaki itu tengah di rumah temannya melakukan kerja kelompok. Jadi, wajar saja jika Zee masih tidak mengerti istilah-istilah didalam MOS lantaran ini kali pertamanya mengikuti MOS di SMA.

"Kamu gak tau istilah-istilah MOS? Bukannya waktu SMP juga pasti melakukan Masa Orientasi Sekolah, ya?" Irsya menggeleng tak percaya. Gadis itu menatap lekat benda ditangannya. Paku payung tersebut dipoles begitu rapi. Tidak ada ruang yang terlewat barang secuil pun.

"Tau lah. Nih, cacing berlumpur, gue bawa mi goreng. Ada juga roti berdarah-roti isi selai strawberry. Ada lagi—"

"Terus kenapa kamu bawa paku payung, bukan loli?" potong Irsya.

"Ya karena waktu MOS di SMP, kakak-kakak OSIS gak pernah nyuruh gue bawa yang gituan. Jadinya gue gak tau." Zee menyengir. Jemari lentiknya bergerak lincah menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

"Siap-siap aja. Pasti kamu kena hukuman. Aku denger-dengar sih, kakak OSIS-nya galak-galak," bisik Irsya lalu menarik lengan Zee menuju aula.

***

"Kenapa kamu tidak membawa makanan yang kakak suruh?!" tanya gadis bersurai hitam bergelombang. Saat ini Zee benar-benar sudah menjadi pusat perhatian. Terbukti dari ratusan pasang mata yang tertuju kepadanya.

Daripada kena hukuman, mendingan gue kasih aja paku payungnya, pikir Zee.

"Bawa, kok ... ini." Zee mengeluarkan paku payung yang ia sembunyikan di bawah meja. Seketika tawa para peserta didik pecah—menggema di dalam ruangan aula. Suasana yang panas akibat cahaya matahari, kini semakin memanas karena gadis itu membuat ulah.

Jiwa menggeleng miris. Bisa-bisanya Zee bertindak bodoh seperti itu. "Susu Zee malu-maluin aja!" gumamnya.

"Kalo mau jadi pelawak, maaf ini bukan tempatnya!" bentak kakak OSIS tersebut. Netra bening milik Zee beradu tatap dengan dua pasang mata hitam. Keduanya sama-sama saling menyorot tajam.

Zee menggebrak meja akibat terpancing emosi. "Gue enggak lagi ngelawak!"

"Oh, ya? Seperti inikah kamu bersikap kepada kakak senior? Masih status junior aja udah belagu. Apalagi nanti kalo udah jadi senior," ejek gadis berambut hitam tersebut yang semakin membuat hati Zee bergejolak terbakar amarah. Sepertinya kakak OSIS itu benar-benar sedang menguji batas kesabaran seorang Saqueena Zeenata.

RECOGNIZED(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang