Part 8

422 89 46
                                    

Nyatanya, musuh terbesar seorang kakak itu adalah adiknya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nyatanya, musuh terbesar seorang kakak itu adalah adiknya sendiri.- Jiwa.

~RECOGNIZED~

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍"Bang ...? Bang Jiwa, bisa-bisanya lo punya mantan macam Gianna. Cewek minus akhlak yang hobinya bully adek kelas." Zee berujar sembari mengimbangi gerakan langkah kaki Jiwa.

"Dih, sok tau lo. Kata siapa dia mantan gue? Amit-amit," balas Jiwa. Pemuda itu nampak bergidik ngeri.

"Dia sendiri yang ngomong kalo dia itu mantannya Abang."

"Mimpi! Si Gianna emang tergila-gila sama ketampanan gue. Jadi, dulu tuh dia pernah naro surat di kolong meja gue. Nah, ternyata surat tersebut si Boby yang nemuin. Boby itu temen sekelas gue yang demen banget sama Gianna sedari masuk SMA. Pas di buka, isi suratnya itu puisi cinta yang dimana tuh cewek ngajakin pacaran. Terus, dengan tololnya, tanpa pikir panjang, Boby terima tuh ajakan pacaran si Gianna. Eh, tapi si Gianna nyangkanya gue yang balesin surat itu. Gue udah jelasin baik-baik kalo bukan gue yang terima surat itu tapi si Bobby. Akan tetapi, si Gianna tetap ngotot kalo gue sama dia udah resmi pacaran. Emang sinting tuh cewek." Jiwa menjelaskan dengan nafas memburu. Ia sudah frustasi harus memberikan pencerahan seperti apa lagi supaya Gianna sadar bahwa dirinya sama sekali tidak pernah mencintai gadis tersebut.

"Bentar, Bang gak mudeng. Ngomongnya kecepatan. Bisa di ulang? Kalo bisa pake slow motion. Soalnya kalo pagi jaringan otak gue masih 2G." Zee berceletuk. Jiwa spontan mendorong tubuh adiknya dengan perasaan kesal.

"Gue harap lo bisa jadi bintang," lontar cowok itu.

"Asiyapp, biar bisa menerangi angkasa, ya?"

"Bukan. Biar bisa menjauh sejauh 40 triliun kilometer dari bumi."

Zee mengoceh; tidak terima dengan penuturan Jiwa barusan. Pemuda itu mengindahkan celotehan adiknya lalu ikut bergabung bersama teman-temannya di meja kantin.

Memutuskan menghampiri Irsya yang nampak tengah asyik mengobrol dengan teman sekelas, tangannya menepuk bahu gadis tersebut. "Sya?" panggil Zee.

"Hai, Zee," balas Irsya.

"Lagi pada ngapain, nih?"

"Ya makan lah. Lo gak liat?" Bukan Irsya yang menjawab, melainkan Scarlett, gadis di sebelahnya yang terlihat sedang menikmati semangkuk bakso.

"Yaelah, biasalah formalitas," balas Zee. Cewek itu ikut duduk di samping Scarlett. Lalu, ia menatap seberang meja. Disana terdapat Jiwa dan teman-temannya, termasuk Gasta.

Zee tersenyum lebar kemudian mengeluarkan ponselnya, berniat memotret Gasta yang tengah memakan roti cokelat. Ah, terlihat sangat lucu.

Tepat setelah Zee memencet tombol kamera, lampu blitz menyala disusul dengan suara jepretan kamera. Sontak saja ratusan pasang mata beralih menatapnya yang tertangkap basah tengah memotret Gasta secara diam-diam. "Astaghfirullah, hape kentang. Siapa yang nyalain blitznya ...? Ya Allah, si kentang bener-bener minta di banting." Zee mendumel sembari bangkit dari kursi saat Gasta memandangnya dengan senyuman yang cukup sulit untuk diartikan. Gadis itu kemudian berlari menuju pintu—ingin secepatnya keluar dari ruangan berlimpah makanan yang biasa mereka sebut kantin. Akan tetapi, tiba-tiba saja kakinya tersandung kaki meja hingga membuatnya jatuh tersungkur dan menjadi bahan olokan seisi kantin.

RECOGNIZED(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang