Happy Reading guys🤗🤗💙
.
.
.
.
.
.'Manusia berubah karena dua hal, yaitu pikiran yang sudah terbuka atau hati yang sudah terluka.'
~ARIL~Saat-saat istirahat adalah waktu yang tepat untuk melepas penat setelah perjalanan jauh menelusuri desa Njenu. Duduk di tepi tenda sembari menikmati indahnya surya yang perlahan tenggelam di ufuk barat.
Namun suasana sunset seketika sirna saat kedua orang ini datang dengan kondisi yang bisa di bilang buruk. Semua terkejut saat melihat kondisi badan Aril yang penuh luka dan masih kuat memopong cewek itu di pelukkannya.
"Kak, Ranya kenapa?!" ucap para sahabat Ranya.
"Hiks... Hiks... Kak Ranya bangun! Kenapa kakak tidur, sih." lirih Dea.
Dari semua orang, Dea-lah yang paling terpukul saat melihat kondisi Ranya lemah tak berdaya.
"Andai kakak tadi nggak nolongin gue, mestinya dia nggak mungkin kayak gini," sesal Dea, karena ia tahu betul apa yang membuat Ranya sampai seperti ini.
"Udah! Kalian jangan ribut, mending kalian minggir dulu!" pinta Aril sembari membawa Ranya ke posko dekat musolah.
Keadaan semakin buruk saat ada beberapa peserta yang ikut kepoin keadaan Ranya. Untungnya pembina dan alumni dapat meredakan situasinya agar para peserta melanjutkan agenda sesuai jadwalnya.
Kini Ranya telah ditangani oleh para alumni yang alhi di bidang PPGD dan untuk Aril, ia masih menunggu sadarnya Ranya dari pinggir posko.
"Ril, ini tadi kenapa bisa jadi begini? Apa lo pelakunya?!" tanya Dannis salah satu alumni yang akrab dengan Aril, bisa dibilang sifat mereka sama sebelas dua belas dalam hal kecuekan.
"Gue juga nggak tau, bang. Tadi gue nemuin dia sendirian. Kayaknya kenak kerang, tapi dianya yang nggak mau ngomong." jelas Aril.
"Gue ngerti, sekarang tenangin diri lo sendiri. Muka lo pucet banget."
Aril mengusap air mata yang entah kapan keluar dari matanya, "Gue takut bang, gue takut kejadian dulu ke ulang lagi. Gue taku_"
"Udah, nggak guna lo nangis. Jangan pernah hubungin masa lalu lo sama kejadian ini, yang penting lo udah berhasil bawa dia kesini, kan? Sekarang obatin dulu luka lo itu, nanti takutnya infeksi!" pinta Dannis.
"Nggak bang, gue bakal tunggu sampai dia sadar." elak Aril.
"Terserah, pokoknya luka lo harus dirawat juga!"
"Iya bang,"
Aril menatap cewek yang biasanya ceria bersama teman-temannya, kini dirinya terbaring lemah tak berdaya di posko. Setiap teman dan adik kelas datang untuk melihat keadaannya. Sesaat Aril teringat di tengah perjalanan tadi, Ranya sering kali mengigau memanggil nama seseorang dan tak lupa isak tangisnya yang terus menerus keluar.
⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️
Malam yang suram di bulan Desember, di luar terdengar suara hujan lebat bersamaan gemuru petir yang bergema di setiap penjuru ruangan. Hanya satu lampu yang menyinari ruang itu.
Teriakan dan suara pukulan terpecah oleh dasyatnya gemuru suara angin serta petir yang terus menyabar.
"Dasar anak nggak berguna! Bisanya nyusahin orang saja," bentak wanita paru baya berwajah antagonis ini.
"Hiks... Hiks... Sakit bu," lirihnya sembari memenggang tubuhnya yang lebam akibat pukulan yang terus menghantamnya.
Wanita itu menarik rambut gadis kecil yang ia pukuli, "Hei. Kamu cuma numpang di sini. Seharusnya kamu ikut ibumu yang miskin itu!"
"Ibu udah, bu! Udah, jangan pukuli kak Sekar terus. Kasihan dia, bu." pinta anak perempuan yang tidak lain adalah anak kandung dari wanita paru baya itu.
"Elena, kenapa kamu disini? Balik ke kamar sekarang juga!" perintahnya dengan emosi di luar batas.
"Budhe jangan m-marah. E-elena kamu balik ya... K-kakak nggak papa kok," pintanya berusaha tersenyum dengan segala luka di wajah.
Wanita itu menyeret anaknya agar menjauh, "Minggir Elena!"
"Kamu itu anak yang nggak di inginkan sama Mayang, buktinya kamu di buang ke rumah saya. Dan Ayah kamu itu orang payah yang nggak bisa cari uang sendiri, sekarang malah nambah beban saya saja!!"
'Ya Allah, apa benar aku anak yang tidak di inginkan? Allah, jika ini mimpi tolong bangunkan aku. Jikalau seseorang memelihara kucing dari kecil, semestinya ia sudah menjadi bagian dari keluarganya, bukan? Kenapa? Kenapa? Setelah bertahun tahun aku bersama budhe-ku, tapi ia tak pernah menganggapku sebagai anaknya sendiri? Kenapa ia selalu menganggapku sebagai sebuah kesalahan?' batinnya.
Wanita itu membusungkan pisaunya ke arahnya, "Kembalilah ke penciptamu!"
JREP?!
Suara pisau tajam telah mendarat, darah terus keluar seolah tanpa kendali. Darah segar membentuk ukiran abstrak di wajahnya, hingga ia bisa menghirupnya, 'D-darah?!'
"Aaaggrrrhhhh?!!"
"ELENAA!!" teriak Ranya saat tersadar dari pingsan.
Nafasnya terengah-engah, membayangkan mimpi yang baru saja ia alami terasa sangat nyata. Saat Ranya tebangun tidak ada satu pun orang yang berada di posko ini, hanya dirinya dan beberapa kotak obat.
Ia mencoba mengingat kejadian tadi sore, namun ia tidak bisa mengingat apapun karena kepalanya terasa pusing. Ranya mencoba berjalan-jalan dengan kondisi kakinya yang sedikit nyeri, agar pikirannya kembali jernih.
Suasana sunyi sepi, semua orang tertidur pulas sebelum Apel api unggun di jam 00:00 bersamaan dengan pembukaan tahun baru.
Kini ia sampai di tepi pantai menikmati indahnya langit malam yang berhiaskan kembang api dari berbagai tempat yang sedang merayakan tahun baru.
Senyum manis menghiasi wajahnya, namun di saat bersamaan ia juga mengingat hari spesial ini, senang tapi dadnya terasa sesak sulit untuk bernafas.
"Happy Birthday, Elena Rifatus Saidah," lirihnya bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Ranya mengusap air mata yang keluar tanpa perintah darinya, sembari menatap langit ia mengingat masa indah bersama sepupunya itu.
Namun tak lama kemudian ada seseorang yang menarik lengannya dari belakang.
"Kenapa lo di sini? Seharusnya lo itu istirahat di posko!" pekik cowok yang selalu membuat Ranya naik darah.
"Lepasin tangan gue, kak!"
"Nggak! Sekarang ikut gue ke posko, lo istirahat!" paksanya terus menarik paksa pergelangan tangan yang penuh gelang raki.
"Ya nggak usah maksa juga. Lagian kenapa kakak peduli banget sama gue, hah? Kenapa?" pekik Ranya, seakan mengisyaratkan sesuatu yang tidak diketahui Aril.
"GUE PEDULI KARENA GUE SAY_" Aril menggantungkan jawabannya, sepertinya ia salah menyebutkannya, "KARENA KASIHAN SAMA LO!" lanjutnya.
Air mata Ranya sudah tidak bisa di tahan, "Sejak kapan senior cuek kayak kakak mulai peduli, lagian kakak pernah bilang kalau gue nggak ada hubungannya sama kakak, kan? Jadi, tolong jangan ganggu!" Ranya melepas genggaman tangan Aril yang mulai renggang.
Entah mengapa Aril merasa bersalah akan air mata yang keluar dari adik kelasnya yang terkenal akan suka berdebat ini. Ia merasa air mata itu akibat ulahnya, padahal ia mencoba membantunya dari awal sampai sekarang, namun menurutnya itu semua tidak ada gunanya.
Aril terdiam melihat kepergian Ranya, bahkan saat ia terjatuh dan Aril berusaha menolongnya, namun langsung di tolak mentah-mentah oleh Ranya, seakan ia sudah muak dengan sikap senoirnya yang sok perhatian padanya.
'Entah masa lalu apa yang buat lo jadi orang kayak gini,' batin Aril seraya tersenyum tipis memandang suasana malam di pinggir pantai.
⚜️⚜️⚜️⚜️⚜️
KAMU SEDANG MEMBACA
RANARIL ||✔️
Ficção Adolescente[⚠!️WARNING!⚠️] [CERITA MENGANDUNG UNSUR CANDU DAN BIKIN KAKU, AWAS ENTAR BAPER![ [MENURUT IMAJINASI AUTHOR, BUKAN "MENURUT ATURAN KELUARGA," KALAU ITU NAMANYA DWISATYA.] [MAAF BILA ADA KESALAHAN DALAM KEPENULISAN, MAKLUM LAH KARYA PERTAMA😆😆] Aril...