35. Terima Kasih

44 5 0
                                    

~*~*~*~

'Seberat apapun beban masalah mu saat ini. Percayalah bahwa semua itu tidak akan melebihi batas kemampuan mu.'
~RAN~

Ruang sunyi berisikan beberapa cowok yang sudah tidak sanggup lagi memopong tubuh untuk melawan. Bercak darah bercucuran ke segala arah. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk merinding.

Dari balik kegelapan terdengar suara isak tangis dari seseorang yang tengah duduk memeluk lututnya seraya memegang sebuah pisau berlumur darahnya sendiri.

Ini adalah cara agar sisi gelapnya tidak menghilangkan nyawa, meski itu harus menyakiti dirinya sendiri.
Ia mencoba untuk bangkit, namun gema bisikan kebencian terus saja membuatnya seakan bertarung dengan dirinya sendiri.

"Hei!"

Panggilan itu membuat Ranya menatap sosok kebencian yang sangat mirip dengannya.

"Dasar LEMAH! Mana nyali lo!?" bentaknya menggema di telinga Ranya.

Entah mengapa ia bisa muncul kembali dan berusaha memprovokasi Ranya.

"Lo itu lemah, kenapa lo lemah?? Karena ada yang kurang, KEBENCIAN!"

"Lihat! Mereka yang lo percaya pada berhianat, kan? Cuma gue yang ngerti lo, mereka cuma menfaatin kebaikan lo. Benar kata Sara, lo itu cewek naif!" pekiknya tanpa henti memojokkan Ranya.

"DIAMM!!" bentak Ranya pada dirinya sendiri.

"Ayolah Ranya, lebih baik jadi diri lo yang dulu, biar lo bisa balas dendam ..."

"Balas dendam ..."

"Balas dendam ..."

Untaian kata itu terus menggema di telinga Ranya, "DIAM!! Gue mohon lo diam!" lirih Ranya seraya menutup telinganya rapat-rapat.

"Lo harus ingat kalau bukan karena gue, lo pasti udah MATI!"

Sekeras apapun Ranya berusaha, tetap saja suara itu terus menggema di gendang telinganya.

Saat sisi gelap mulai menyelimutinya, tiba-tiba ia merasa ada yang tengah mendekapnya tubuhnya.

"Ranya ... udah dek, lo udah aman," lirihnya membuat Ranya membuka mata lebar-lebar.

Sekali lagi seseorang yang dulu pernah menyelamatkan Ranya dari ranjau sisi gelap, kini hadir kembali untuk melindunginya. Mata merah perlahan kembali normal, tatkala ia merasa sedikit tenang.

"Gu-gue pembunuh, Bang ..." lirih Ranya dalam pelukan polisi muda itu.

"Nggak, adek gue bukan pembunuh," relai Anang mencoba untuk menenangkan hati adiknya.

Aurel yang menyaksikan momen haru itu, hingga berlinang air mata.

Sekarang Aurel menyadari jika selama ini Ranya selalu tersenyum bahagia agar bisa menutupi belengguh kehidupannya.

Anang sendiri mencoba tersenyum dibalik tangis melihat kondisi adiknya yang berlumur darah serta bekas luka.

Saat dirasa tenang, ia meminta Aurel untuk membawa Ranya ke mobil. Sedangkan dirinya akan membersihkan ke sepuluh preman ini.
Ia berjalan dan memeriksa denyut nadi mereka satu per satu.

Alangkah terkejutnya Anang saat menyadari bila para penculik ini tidak mati, mereka hanya pingsan.

"Wow, lo hebat dek," puji Anang bangga, "Dulu lo bisa membunuh orang dalam sekelebatan, tapi sekarang lo udah lebih kuat buat ngelawan sisi gelap lo, gue salut sama lo, karena lo berhasil nutup lubang kosong di hati lo sendiri." lanjutnya seraya mengingat senyum manis bersifat palsu dari adiknya.

RANARIL ||✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang