SHENNA. 40

26 3 0
                                    

"Nothing to believe, only yourself and enough."
-Shenna Aprillia Wijaya-













   








                     
40.
Pelajaran terakhir telah usai dari 10 menit yang lalu, Gadis remaja ini masih saja termenung di bawah pohon rindang. Biarlah untuk kali ini ia menjadi siswi badung dan dihakimi oleh teman seisi kelasnya. Biarlah dan biarlah, ia lelah akan hari ini, sangat lelah.

Tatapannya kosong tak ada harapan, apakah hidupnya sesedih ini? Apakah dirinya salah, karena menutupi luka kepada ketiga sahabatnya? Sungguh, semesta sedang menertawakannya.

Kemarin adiknya yang salah paham dan marah padanya, sekarang ketiga sahabatnya juga marah bahkan meninggalkannya. Sesulit ini menjadi diri sendiri? Sesakit ini? Nyatanya begitu.

"Mengapa, mengapa Tuhan? Semua orang menghakimi diriku, tanpa ingin mendengar, tanpa ingin tahu, apakah aku tersakiti atau tidak? Hahahhaha. Apa aku harus mengakhiri hidupku? Sepertinya seru!" ucapnya bermonolog pada diri sendiri.

Setelah selesai menyalurkan emosinya, ia menyederkan tubuh kepada pohon itu. Cukup nyaman karena ini diluar kelas, ditambah angin yang datang menambah nikmat ketenangannya.

Namun, ia merasakan ada benda dingin yang menempel di pipinya membuat ia membuka matanya. Ia terdiam lalu mengambil minuman itu dari tangan seorang yang memberinya.

"Kenapa bolos? Kenapa gak masuk kelas?" tanya seorang itu tanpa jeda, sedangkan Shenna hanya diam membisu.

"Apa urusan lo? Ngapain capek-capek kesini! Kan gua bilang, jangan temui gua lagi. Walau kita sekelas!" sarkasnya tak suka karena Lucas masih saja peduli dengannya.

Omongan Shenna tak ia gubris, dirinya justru mendekat ke arah telinga Shenna.

"Gua gak akan pergi, kita hanya jaga jarak. Jangan ragukan kepedulian gua," bisiknya lembut, membuat Shenna terdiam lagi.

Mengapa hanya kamu? Mengapa tidak ketiga sahabatku? Kamu tahu? Perlakuan kamu ini yang membuat aku merasa beruntung bisa ketemu kamu. Maaf, Aku terlalu takut untuk mengakuinya.

Shenna berdiri sambil mendorong pundak Lucas. "Pergi! Jangan temui gua lagi! Lebih baik, lo urus rencana tunangan lo sama Deana!!!" ucapnya murka lalu meninggalkan Lucas yang menatap pilu kepergiannya.

"Sekeras itu, hingga kamu benar-benar gak mau nerima kepedulianku? Aku akan tetap seperti yang kamu kenal dan aku akan buat kamu bahagia."

•••
Shenna berlari meninggalkan taman itu, ia tidak berbalik untuk melihat. Apakah Lucas masih berada disana? Ia tidak ingin lagi menaruh harapan. Ia pun memutuskan untuk berlari menuju kelasnya yang ia yakini, kelasnya sudah sepi.

Sesampainya di kelas, senyum miliknya ia tunjukan. Ternyata masih ada yang peduli dengannya, Erika - sahabatnya yang setia menunggu dia hingga semua penghuni sekolah sudah pulang.

Erika tersenyum tipis sembari memberikan tas milik Shenna, sang empu pun menerima dengan senyum yang masih terpancar diwajahnya.

"Lo gak ninggalin gua? Padahal semuanya udah pulang?" tanya Shenna menyakinkan kepercayaannya.

Erika tak menjawab dan langsung menarik tangannya keluar dari kelas, kemudian menuju parkiran untuk segera pulang kerumahnya.

Didalam mobil, suasana menjadi sangat canggung. Keduanya terdiam dengan diselimuti hawa dingin dari AC mobil tersebut, bahkan radio yang selalu mereka nyalahkan, sekarang tidak lagi menjadi bahan kericuhan mereka.

"Gua anter lo kerumah papah lo dulu, gua masih ingat dan gak akan ingkari."

"Makasih, Erika."

15 menit kemudian, mereka akhirnya sampai di pekarangan rumah Shenna. Mereka pun turun, terlebih Shenna yang terlihat merindukan tempat pelindungnya, ia tak segera memanggil seseorang dari balik rumah yang sudah 17 tahun menjadi saksi akan kasih sayang juga luka yang ia terima.

Memandangi rumah itu dengan hasrat kepiluan, membuatnya menitihkan air mata setiap kali mengingat momen bersama keluarganya. Dirinya tidak bisa membohongi, kalo ia sangat ingin kembali, tapi tidak. Jangan ada lagi tangisan dirumah ini.

"Lo gak mau masuk kerumah? Bokap lo kan lagi ada dikantor?" tanya Erika menghentikan kesedihan sahabatnya.

"Terlalu takut untuk gua masuk, walau rumah ini juga rumah gua. Tapi, rasanya rumah ini pun ikut mengasingkan, gua," jawab Shenna dengan tatapan hampa.

"Kalo gitu, tanya pak satpam lo aja, biar lo juga tau dan tenang," usul Erika dan diangguki Shenna.

Akhirnya, Shenna mencoba untuk mendekati gerbang rumahnya. Beruntung Pak Toto sedang berjaga di dekat pintu utama rumahnya. Ia pun memanggil Pak Toto berulang kali, hingga Pak Toto menyadari kehadirannya.

"Yaampun, Neng Shenna. Apa kabar?"

"Alhamdulillah, baik pak. Bapak gimana kabarnya?"

"Baik, Neng. Ayo masuk, bapak bukain gerbangnya."

"E-eeh. Jangan pak, saya hanya mau tanya kabar papah, mamah dan, Ami. Bagaimana, Pak?"

"Ouh, Tuan, Nyonya, dan Neng Ami. Alhamdulillah, sehat. Mereka juga terlihat seperti biasa, senang dan penuh kasih sayang."

"Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Neng."

Shenna tersenyum getir mendengar penjelasan dari Pak Toto, apakah mereka bahagia karena aku sudah pergi? Apakah tidak ada yang menginginkanku untuk kembali? Aku tidak mengerti dan aku tidak ingin mengerti akan hal itu.




























































Haloo! Apa kabar kalian? Kali ini aku up and double up. Yey :)

Tetap semangat ya, menjalankan ibadah puasanya :)

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian 🍁

Salam hangat, Win 🍁

SHENNA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang