SHENNA. 41

25 2 0
                                    

"Jangan pernah berharap lebih pada seorang manusia, jika kamu tidak ingin menanggung duri yang perih."
-Shenna Aprillia Wijaya-


















 

















                      
41.
Mereka berdua memutuskan untuk pulang kerumah, sampainya dirumah Shenna tak langsung masuk bersama sahabatnya itu. Ada rasa menjanggal yang menganggu hatinya.

Shenna teringat akan kejadian di taman tadi siang, dimana ketiga temannya tidak ada yang mau mendengarkan penjelasan mengapa ia tidak bisa berkata jujur tentang setiap permasalahan yang dihadapinya.

Kata 'percaya' tidak pernah dihilangkan dalam setiap tali persahabatannya diuji, setiap mereka selalu mengetuk pintu rumahnya, dia selalu membuka dan percaya pada mereka bertiga. Shenna hanya ingin menjaga senyum mereka, menjaga kebahagiaan orang-orang yang telah baik padanya.

Memang tidak adil, apa yang dikatakan Syabila benar adanya. Saat kita melakukan kebaikan seharusnya dibalas juga dengan kebaikan, namun Shenna tidak mengharapkannya. Cukup mereka tertawa, maka dia akan ikut tertawa juga.

Tapi, sekarang rasa keraguannya mulai muncul secara perlahan tanpa ada kata permisi.

Erika yang sadar kalo temannya masih berada dibelakang, menoleh untuk memeriksanya.

"Ayo, masuk. Ngapain disitu? Nanti masuk angin, terus gua juga yang repot," ajak Erika dengan nada menyindir.

Shenna tidak bergeming sama sekali. "Kalo gitu gua pergi aja, biar lo gak repot," jawabnya membuat Erika merasa bersalah.

"Eh, bukan gitu. Lo kaya gak tau gua aja, udah ayo masuk!" pintanya dengan nada memohon.

Shenna melangkahkan kaki jenjangnya dan masuk bersama Erika, lalu menutup pintunya dan langsung menuju keatas. Lain halnya dengan Shenna yang masih saja menanggapi perkataan Erika dengan serius.

"Rie, gua mau ngomong. Disini aja, plis."

Erika yang baru saja menaiki anak tangga ke - 4 seketika lesu dan turun dengan rasa malasnya. Baru saja ia terpikir untuk segera menidurkan tubuh yang lelah ini ke kasur empuk, tapi Shenna menggagalkan semuanya.

"Mau ngomong apa? Serius banget kayanya?"

"Ini soal yang ditaman, apa yang kalian tuduh ke gua, itu gak benar gua sama sekali gak pernah berpikir, kalo kalian hanya benalu. Nyatanya, gua selalu merasa hidup kalo berada didekat lo dan yang lainnya."

"Gua tau itu, tapi lo selalu aja gak pernah mau cerita. Kita hanya tau tentang lo yang suka lukain diri sendiri dan keluarga, lo. Sedangkan, kita ... lo tau semuanya tentang kita!"

"Enggak, kalian pun gak ceritain semuanya, setiap orang pasti punya sisi privasinya. Walau apapun sedekat kita, lo, Syabila, dan Adel. Pasti punya rahasia masing-masing yang gak sama sekali kita ketahuin satu sama lain."

"Em, begitu ya? Kayanya selama ini gua salah anggap lo, sebagai seorang sahabat yang benar-benar sahabat. Nyatanya, lo akan selalu ngehindar dengan kata-kata sok bijak lo, kita salah mengartikan, dan lo akan terus bersama ketertutupan lo."

"Jangan salah paham dulu! Gua hanya ——— "

"Stop!! Gua gak mau dengar penjelasan lo!! Mulai hari ini, detik ini juga. Kita bukan lagi sahabat!! Gua udah gak bisa berteman sama orang bodoh kaya lo yang selalu buat orang lain bahagia, nyatanya lo sendiri hancur!!"

Shenna hanya terdiam tanpa ekspresi apapun. Dia hanya memandang sahabatnya itu lekat, jangan tanyakan, bagaimana perasaanya? sakit! Erika, sahabatnya yang selalu dekat dengannya, yang selalu maju dibarisan terdepan saat mereka menghina dirinya, seseorang yang menolong dan sukarela memberikannya kesempatan untuk tinggal dirumah sahabatnya itu. Sekarang, kata yang tak ingin ia dengar, menjadi kata candu ditelinganya.

SHENNA [SELESAI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang