18.3|Mengubah Jiwa Menjadi Nisan

388 26 2
                                    

Dan bagaimanakah tanggapan Layla?

Tanggapan yang diberikan oleh Layla cukup membuat kebahagiaan Ibn Salam pudar; hatinya, yang sebelumnya bersinar terang bagaikan matahari, kini tertutupi oleh kegelapan yang sepertinya semakin kuat seiring dengan berlalunya hari.
Layla tak mau makan, tidur, dan ia juga tak mengizinkan Ibn Salam untuk menyentuh tempat tidurnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Telah lama Ibn Salam mengejarnya, dan kini saat kunci dari peti tempat permata indah itu tersimpan telah berada di tangan, peti itu tetap tak mau terbuka. Penasihatnya terus menyarankan agar ia bersabar dan dapat menahan diri. Dan berharap. Ia mencoba sebisanya untuk menyenangkan hati Layla dan mencoba untuk bisa memahami mengapa Layla menolak dirinya,
tapi semuanya sia-sia saja. Ia tak dapat membaca pancaran mata istrinya, yang dapat dilihatnya hanyalah airmata, dan setiap malam tiba, Ibn Salam terbaring sendirian di atas tempat tidurnya dan tak sanggup memejamkan matanya.

Ibn Salam menjadi benar-benar frustrasi sehingga ia berpikir bahwa
ia harus memaksa Layla. Lagipula, tanyanya pada dirinya sendiri,

bukankah Layla istrinya?

Bukankah aku memiliki hak atas dirinya? Siapa tahu memang
itulah yang diharapkannya? Ibn Salam akhirnya menghentikan usahanya untuk memenangkan hati Layla dengan kebaikan, ia justru melakukan aksi yang lebih berani. Namun lagi-lagi ia gagal. Dalam usahanya untuk memetik buah, ia hanya menggoreskan tangannya pada duri; dalam usahanya untuk menikmati manisnya buah, satu-satunya hal yang dapat dirasakannya hanyalah rasa yang jauh lebih pahit dari wormwood. Karena setiap
kali Ibn Salam mencoba untuk menyentuh istrinya, Layla menggigit lengan suaminya dan mencakar wajahnya hingga berdarah.

“Aku bersumpah demi Allah jika kau mencoba melakukannya sekali lagi,” katanya sambil menangis, “Kau akan menyesalinya seumur hidupmu – apapun yang tersisa dari hidupmu! Aku telah bersumpah kepada
sang Pencipta bahwa aku takkan menyerahkan diriku kepadamu. Kau bolehmenggorok leherku dengan pedangmu, jika kau mau, tapi kau takkan dapat memaksaku!”

Ibn Salam tak dapat berbuat apa-apa. Karena sangat mencintai Layla, ia tidak mau melakukan apa yang tak dikehendaki olehnya. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Meskipun ia tak mencintaiku, tapi ia kini berada di rumahku. Aku memang bisa melihatnya, tapi aku tak boleh menyentuhnya. Jadi biarkanlah begitu kenyataannya! Lebih baik aku diperbolehkan untuk melihatnya tapi tak boleh menyentuhnya daripada tak boleh memilikinya sama sekali. Setidaknya aku dapat memandang kecantikannya
setiap kali kuinginkan.”

Lalu ia berlutut di sisi Layla, meraih tangannya dan dengan rendah
hati berkata, “Maafkan aku, sayangku. Kumohon jangan larang aku untuk
memandangmu; aku takkan meminta lebih banyak lagi, karena hal itu sama saja dengan pencurian dan aku bukanlah seorang pencuri.”

Meskipun Layla memberikan izin kepada Ibn Salam untuk memandangnya setiapkali ia ingin, namun tak sekalipun ia bersedia memandang suaminya.

Sementara mata Ibn Salam selalu mencari mata Layla, namun mata Layla hanya mencari Majnun. Layla selalu mendengarkan bunyi gemuruh angin, berharap angin akan membawa berita tentang kekasihnya; ia memandang sinar matahari menari-nari karena mungkin saja partikel kecil dari kekasihnya akan datang menghampirinya dengan membawa
aroma wanginya.

Kadangkala ia membuka tirai tendanya dan memandang langit malam; lalu jiwanya akan berkelana selama beberapa saat dan melupakan dirinya. Hari-harinya hanya terisi oleh bayangan Majnun dan ia hidup dengan harapan akan mendapatkan pesan darinya. Suatu hari nanti,
katanya pada dirinya sendiri.
Suatu saat nanti……

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang