18.1| Mengubah Jiwa Menjadi Nisan

1.6K 51 22
                                    

Ketika setiap kali keserasian itu terusik,

kematian akan bergerak perlahan…

Dan betapa pun usahanya untuk menunjukkan
kebahagiaan di wajahnya,

tak dapat dipungkiri bahwa kematian
telah muncul di hati Layla

dan kini menanti tiba saatnya

untuk

Mengubah jiwanya menjadi sebuah nisan

Ayahnyalah yang memberitahu Layla tentang kemenangan Nowfal. Ia berlari menuju tenda putrinya, jubahnya penuh dengan darah dan sorbannya miring. Ia kelelahan, tentu saja, meskipun begitu ada rasa kemenangan dalam suaranya. Layla mengobati luka-luka serta lebam-lebam
di tubuh ayahnya sementara sang ayah menceritakannya apa yang terjadi.

Si pria tua itu menepuk pahanya dan dengan bangganya berkata, “Benar-benar pukulan telak! Sungguh brilian! Aku telah melakukan sesuatu yang tak mungkin: aku telah menjinakkan makhluk buas yang
bernama Nowfal ini dengan lidahku; beberapa menit setelah kemenangan
yang telah diraihnya atas suku kita, kutunjukkan kepadanya siapa pemenang sesungguhnya! Dan kini aku telah terbebas dari bencana, dan semua hanya dalam satu helaan napas!”

Dan tentang si maniak itu, si iblis gila Majnun – jika saja ia memaksa dirinya, seperti yang telah ia coba lakukan, pasti ia akan merusak semuanya. Tak perlu dikhawatirkan lagi. Meskipun Nowfal telah memenangkan pertempuran dengan adil – tentu saja, karena ia berperang dengan bersungguh-sungguh atas nama Allah – berkat kemahiranku berunding, ia telah pergi dan kita selamat.”

Layla mendengarkan, sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya, namun hatinya hancur. Ia merasa bahwa tak lama lagi ia akan mati karena rasa sedihnya yang teramat besar, tapi tentu saja ia tak dapat
mengungkapkan perasaannya.

Sepanjang hari ia merana dalam diam, berpura-pura tersenyum dan tertawa, berusaha menanggapi jika diajak bicara, namun kala malam tiba ia segera berbaring di atas tempat tidurnya dan menangis hingga airmatanya tak lagi dapat keluar. Di saat itulah ia merasa aman dari mata-mata yang mengintainya.

Kediaman orangtuanya telah menjadi penjara baginya; tidak, lebih tepatnya makam, karena ia merasa dirinya telah mati. Ia menjaga rahasia cintanya bagaikan seorang penjaga yang bertugas untuk menjaga harta berharga, namun kerahasiaan itu ada harganya.

Kenyataan bahwa tak ada seorang pun yang dapat ia percaya membuatnya merasa bak seekor burung yang terjebak dalam perangkap: ia merasa lelah akan penderitaannya dan mendambakan kebebasan, walaupun jika kebebasan itu
berarti kematian.

Sementara itu, soneta serta ode karya Majnun yang memuji Layla dan kecantikannya telah tersebar ke seluruh pelosok Arab; sajak-sajak itu membuat Layla terkenal hingga membuat para pria-pria datang hendak meminangnya. Mereka
semua merasa mabuk akan kecantikannya sehingga mereka berusaha untuk mengatur strategi serta muslihat demi mencapai tujuan. Namun betapapun hebatnya mereka dalam hal membujuk, usaha mereka percuma saja: seluas apapun tanah, sebanyak apapun hewan ternak serta emas dan perak yang ditawarkan tak mampu meyakinkan hati ayah Layla.

Baginya, Layla adalah sebuah berlian yang teramat berharga yang harus dijaga dengan kelembutan dan cinta kasih; baginya, ia adalah peti yang penuh berisi permata, dan kunci dari peti itu tak bisa diberikan dengan mudah kepada siapa pun.

Berita tentang datang dan perginya para peminang Layla sampai juga di telinga Ibn Salam, yang merasa marah dengan kenyataan bahwa ada begitu banyak tangan-tangan kotor yang berusaha untuk meraih permata yang dijanjikan akan menjadi miliknya.

Kesabarannya diuji dan hasratnya membara, ia tak lagi dapat menghadapinya. Dengan segera ia
menyiapkan sebuah karavan dengan muatan yang layak dimiliki oleh seorang sultan: lima-puluh ekor keledai, masing-masing membawa bahan pembuat ornamen dan wewangian berbagai aroma serta daging yang cukup untuk memberi makan satu pasukan. Unta-untanya, yang nyaris tak terlihat dibalik muatan yang penuh berisi kain indah, tampak bagaikan pegunungan kain sutra dan brokat yang bergerak.

Ibn Salam sendiri mengenakan pakaian bak raja, dan karavan itu bergerak dari satu oase ke oase lainnya, dan memberikan emas kepada setiap orang yang ditemuinya. Ia beserta rombongan mendirikan perkemahan di dekat perkemahan Layla dan sukunya, dan ia mengizinkan rombongannya untuk beristirahat sebelum mengirimkan seorang mediator untuk menghadap keluarga Layla. Mediator ini adalah seorang pria yang memiliki kemampuan hebat dalam hal berbicara, sangat mahir dalam menggunakan kata-kata.

Ia dapat merajut mantera dengan kata-kata; begitu efektifnya ucapannya
hingga ia dapat melelehkan hati yang sedingin es; begitu hebatnya kemampuannya hingga ia dapat membangkitkan mereka-mereka yang telah mati hanya dengan kekuatan logika serta argumennya.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang