Dan saat berjuang untuk bisa tidur,
ia membaca buku kehidupannya,
yang halaman demi halamannya lebih gelap dari malam.
Setelah meninggalkan Nowfal, Majnun merasa bak seorang bocah kecil yang tak memiliki ibu. Ia menunggangi kudanya menuju pedalaman gurun, hanya bertemankan angin. Dengan suara yang rusak karena kesedihan, ia bernyanyi untuk dirinya sendiri tentang ketidaksetiaan Nowfal, menceritakan takdirnya kepada api unggun perkemahan dan karavan-karavan yang telah ditinggalkan, begitu ia melewatinya.
Tiba-tiba saja ia melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan; begitu ia dekati, ternyata ia melihat dua ekor rusa yang terjebak dalam perangkap. Dan ada seorang pemburu yang berdiri di atas mereka, bersiap-siap untuk membunuh rusa itu dengan belatinya.
Majnun merasakan kemarahannya memuncak. "Lepaskan makhluk-makhluk itu!" jeritnya. "Aku hanyalah orang asing di wilayah ini, jadi aku adalah tamumu; bukanlah tindakan yang sopan bagi sang tuan rumah untuk menolak permintaan tamunya! Nah, lepaskan simpul itu dari leher mereka dan bebaskan mereka! Bukankah masih adabanyak ruang di dunia ini untuk semua makhluk ciptaan Allah? Apa kesalahannya hingga kau bersiap-siap untuk membunuhnya? Lihat betapa anggunnya mereka, betapa indahnya mereka diciptakan! Tidakkah mereka mengingatkanmu akan keindahan musim semi? Tidakkah mata mereka mengingatkanmu akan mata kekasihmu?
"Lepaskan mereka! Biarkan mereka hidup dalam ketenangan! Leher-leher mereka terlalu indah untuk merasakan serangan pedangmu; dada serta paha mereka tidak diciptakan hanya untuk mengisi mangkukmu; punggung mereka, yang tak pernah mengangkut barang apapun, sudah pasti tidak ditakdirkan untuk perapianmu! Lepaskan mereka, kumohon kepadamu!"
Si pemburu mengambil langkah mundur dan tampak terkejut. Tak pernah sekalipun dalam hidupnya ia mendengar permohonan yang begitu mendalam, begitu mulia. Masih menggelengkan kepalanya dengan tak percaya, ia berkata, "Apa yang bisa kukatakan? Aku mengerti pandanganmu dan aku setuju."
"Tapi aku adalah orang miskin; jika bukan karena rasa laparku, aku takkan mungkin membunuh makhluk-makhluk ciptaan Allah. Tapi ini adalah tangkapanku yang pertama dalam waktu dua bulan ini. Aku mempunyai seorang istri dan beberapa mulut kecil untuk kuberi makan. Apakah aku harus mengorbankan kesejahteraan keluargaku demi kebebasan beberapa ekor hewan?"
Majnun turun dari kudanya dan tanpa berkata-kata ia menyerahkan tali kekang kudanya kepada si pemburu. Meskipun bingung oleh tindakan Majnun, namun ia juga merasa lebih dari sekedar senang dengan pertukaran itu. Segera saja ia pergi dengan kuda itu dan meninggalkan Majnun yang berusaha melepaskan rusa-rusa dari perangkapnya.
Dengan halus ia melakukannya, lalu ia membelai-belai leher mereka dan mencium mata mereka sambil berkata:
Aku melihat matanya pada matamu, lebih gelap dari malam;
Meskipun begitu cintaku tak dapat mengembalikannya ke hadapanku.
Apa yang telah hilang takkan dapat dikembalikan oleh siapapun,
Dan yang tersisa hanyalah kenangan yang membara........
Ia memohon agar Allah memberikan berkah kepada hewan-hewan tersebut, lalu ia melepaskan mereka dan memandang saat mereka berlarian di atas gurun pasir. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, langkahnya lebih pelan kali ini karena tubuhnya menopang kesedihan serta beberapa barangnya yang tersisa.
Cahaya matahari menyengat kepalanya tanpa ampun, sementara pasir membakar kakinya. Kulitnya hangus, otaknya terasa seperti terpanggang, kakinya lecet-lecet dan terluka oleh duri, namun ia terus berjalan tanpa gentar. Perjalanannya masih berlanjut hingga malam menyelubungkan jubah gelapnya di bumi dan rembulan yang meminjam sinar matahari menjadi pemandangan yang sangat indah di langit. Saat itulah ia baru beristirahat.
Dengan terengah-engah dan mengerang ia memasuki sebuah gua dan menjadikan selendang tuanya sebagai selimut dan batu sebagai bantalnya. Lalu ia membaringkan tubuhnya, dan saat berjuang untuk bisa tidur, ia membaca buku kehidupannya, yang halaman demi halamannya lebih gelap dari malam.
Saat pagi mulai menjelang dan matahari mulai bersinar, para syaitan tidur melepaskan rantai pikiran Majnun dan mengembalikannya kepadanya, membiarkannya terbangun.
Sambil mengusap-usap matanya, ia melangkah keluar dari gua dan melanjutkan perjalanannya. Dalam perjalanannya, ia menciptakan ode dan sajak, lalu menyanyikannya keras-keras untuk dirinya sendiri dan gurun pasir.
Menjelang sore hari, Majnun kembali bertemu dengan seorang pemburu. Pria ini telah berhasil menjebak rusa jantan dalam perangkap dan sedang bersiap-siap untuk menggorok lehernya.
Darahnya mulai mengucur, lalu Majnun berlari menuju si pemburu dan berteriak, "Kau monster yang kejam! Memalukan sekali bagaimana caramu menindas yang lemah dan tak berdaya! Biarkan makhluk ini pergi agar ia bisa menikmati apa yang tersisa dari hidupnya!"
.
.
.
.
.
Bersambunh
KAMU SEDANG MEMBACA
Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri Timur
RomanceQays nama pemuda itu, seorang penyair yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan si Gila "Majnun".