14.3| Atas Nama Persahabatan

1.4K 63 1
                                    

Pria yang telah mencaci maki Majnun atas tindakannya saat pertempuran pertama itu kini melangkah maju dan berbicara kepada Nowfal.

"Pria tua itu benar," katanya. "Si bodoh Majnun adalah budak nafsu. Pikiran-pikiran untuk tidak patuh dan memberontak mendominasi dirinya dan tidaklah layak bagi seseorang dalam kondisinya untuk menjadikan gadis manapun sebagai istrinya. Jelas sekali pikirannya tak waras dan ia tak dapat dipercaya. Bukankah kita telah mempertaruhkan nyawa kita untuknya? Bukankah kita telah siap untuk bertarung hingga tetes darah penghabisan? Kendatipun demikian kenyataannya, ia justru mengharapkan kemenangan bagi pihak musuh! Untuk dirinya, kita bersedia menjadikan tubuh kita sebagai sasaran panah musuh -panah yang secara rahasia justru ia doakan! Tidak ada seorang manusia waraspun yang akan bertindak demikian. Lihat saja dirinya, lihat bagaimana ia seringkali tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan! Bahkan jika ia berhasil meraih Layla, takdir takkan bersedia menyatukan mereka.

Pria itu sama sekali tak memiliki sifat baik dan kau, Nowfal, akan hidup dalam penyesalan karena telah membantunya. Keagungan serta rasa malu yang kita terima telah sebanding: mari kita sudahi semuanya dan jangan lagi kita turut campur dengan urusan ini.Apalagi yang dapat dilakukan Nowfal? Keputusan ayah Layla sudah tak dapat ditawar-tawar lagi bahkan dalam keadaan kalah; ia bahkan menikmati dukungan dari anak buah Nowfal. Ia tak menyalahkan mereka karena kini pikirannya pun penuh dengan keraguan akan Majnun. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk menarik kembali syarat-syarat kemenangan yang telah diajukannya, lalu ia memberikan tanda kepada pasukannya untuk membubarkan perkemahan dan kembali pulang.

***

Seolah Majnun telah menghilang dari muka bumi.
Seolah namanya telah dihapus dari buku kehidupan.

Majnun tak dapat menahan kemarahannya untuk waktu yang lama, dan mereka belum berjalan terlalu jauh ketika menoleh ke arah Nowffal dan mulai berteriak, "Apakah kau menyebut dirimu teman? Kau membuat harapanku tumbuh kuat bagaikan pohon, dan kini kau sendiri yang menebang pohon itu dengan kapakmu. Kemenangan telah menjadi milikmu. Oleh karena itu kau boleh menerima barang-barang rampasan perang. Layla juga berhak kau miliki, yang juga menjadi milikku: mengapa kau biarkan ia pergi? Mengapa kau berjanji untuk membantuku lalu kau mengkhianatiku?"

"Aku bagaikan seseorang yang sekarat karena dahaga: kau yang membawaku menuju tepian sungai Euphrates, namun sebelum aku sempat meneguk airnya, kau menarikku dan mengembalikanku ke tengah gurun pasir tanpa air! Kau menuntunku ke meja makan, tapi kau tak memperbolehkanku menikmati makanan! Jika kau tak pernah berniat untuk membiarkanku memiliki hartaku, mengapa kau tunjukkan padaku sedari awal?"

Majnun menyentakkan kakinya ke arah kudanya dan tanpa mengucapkan selamat tinggal, ia berlalu meninggalkan gurun menuju alam liar. Tak lama kemudian, sosoknya sudah tak tampak lagi, meninggalkan Nowfal dan para anak buahnya yang menggaruk-garukkan kepala merekadengan takjub.

Beberapa hari setelah Nowfal kembali ke tempat asalnya, ia membentuk sebuah tim pencarian untuk mencari sahabatnya. Bagaimanapun juga ia menyayangi Majnun. Ia ingin menemukan sahabatnya, menenangkannya dan mengatakan betapa ia menyayanginya, dan memastikannya bahwa ia tak pernah berniat untuk menyakitinya.

Namun keberadaan Majnun tak dapat dilacak. Seolah ia telah menghilang dari muka bumi. Seolah namanya telah dihapus dari buku kehidupan. Perlahan, Nowfal mengambil kesimpulan yang menyakitkan bahwa ia telah kehilangan sahabatnya untuk selamanya.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang