18.2| Mengubah Jiwa Menjadi Nisan

420 27 5
                                    

Ketetapan hati mediator Ibn Salam sangatlah sulit untuk dapat
ditolak; yang lebih sulit untuk ditolak lagi adalah hadiah yang begitu banyak yang telah dibawa oleh Ibn Salam. Bumbu-bumbu dari India, karpet dari Persia, kain brokat dari Cina, wewangian dari Byzantium – tak diragukan lagi bahwa setiap hadiah didesain untuk memuluskan permintaan Ibn Salam dan untuk membantu membuka gembok yang telah terbuka setengahnya, berkat kemahiran sang mediator dalam berbicara.

Si mediator mulai menebarkan pesonanya kepada ayah Layla:
“Ibn Salam bukanlah pria biasa. Ia bagaikan singa, kebanggaan bagi seluruh penjuru Arab! Kekuatannya sebanding dengan sepuluh orang terkuat jika digabungkan dan ia adalah tulang punggung bagi pasukan mana pun.”
“Tapi ia bukan saja ulung saat memegang pedang, karena ke
mana pun ia pergi, ia selalu dituruti. Ke mana pun ia melangkah, kemashyurannya mendahuluinya. Kemuliaannya tak perlu dipertanyakan lagi,
kehormatan serta integritasnya tanpa cacat sedikit pun. Kemarahannya
tak ada bandingannya: jika memang harus ia akan menumpahkan darah
seolah hanya air semata. Kemurahan hatinya telah melegenda: jika perlu,
ia akan menebarkan emas seolah hanyalah butiran pasir semata.”
“Apakah ada alasan untuk menolak pria yang sehebat itu sebagai
menantu Anda? Jika Anda membutuhkan orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia akan mencarikannya untuk Anda. Jika Anda membutuhkan
perlindungan, maka ia akan mengabulkannya untuk Anda.”

Bagaikan hujan di musim semi, ucapan sang mediator mengguyur ayah Layla, nyaris tak memberikan kesempatan untuk menyahut. Apa
yang harus dilakukannya? Apa yang harus diucapkannya?
Bukankah ia telah menjanjikan putrinya kepada Ibn Salam? Segalanya terjadi terlalu cepat dan ia lebih memilih untuk menunggu sedikit lebih lama, namun faktanya tetaplah sama, ia telah membuat janji yang tak dapat diingkari. Ia mencari-cari alasan atau jalan keluar namun tak dapat ia temukan. Ia bagaikan seorang pria yang tiba-tiba saja dikejutkan oleh sang musuh, berusaha keras mencari persenjataan terdekat untuk membela dirinya, namun tak ia temukan satu pun.

Dan sekian lamanya ia digerakkan semakin jauh dan semakin jauh oleh kehebatan lawannya dalam berbicara. Pada akhirnya, ia menyerah dan sebuah tanggal pun ditetapkan untuk hari penikahan.

Ketika hari pernikahan tiba, matahari menjatuhkan sinarnya di atas wajah malam, seperti seseorang yang menjatuhkan kerudung ke wajah sang pengantin wanita. Ayah Layla bangun lebih pagi, antusias untuk menyiapkan pernikahan; di siang harinya, segalanya telah siap.

Ibn Salam, rombongannya serta para tamu dituntun menuju sebuah paviliun yang telah didirikan khusus untuk merayakan pernikahan itu. Menurut tradisi yang berlaku, para tamu duduk bersama, mengagumi hadiah-hadiah yang diterima oleh sang pengantin wanita melemparlemparkan emas dan perak ke udara, menikmati makanan lezat dan saling menjalin hubungan pertemanan. Gelak tawa memenuhi udara dan semuanya merasa damai.

Tapi bagaimana dengan Layla?

Ia duduk di ruang pengantin,
dikelilingi oleh wanita-wanita yang ramai berbicara dan anak-anak yang
merengek-rengek. Para wanita telah menghiasi dinding ruangan itu dengan kain sutera dan permadani, kini mereka mulai membakar wewangian di mangkuk-mangkuk kuningan. Aroma manisnya memenuhi ruangan. Begitu semangatnya mereka dalam persiapan itu sehingga mereka tak memperhatikan airmata Layla.

Di antara semua orang yang sedang bergembira dan tersenyum,
hanya dirinya sendirilah yang sedang bersedih. Belati kesunyian dan keputusasaan yang sedingin es menghujam jiwanya; tak pernah sebelumnya ia merasa begitu sendiri. Betapa dekatnya ia dan Majnun untuk merai tujuannya……..dan kini segalanya telah sirna: begitu cangkir itu menyentuh bibir mereka, segera saja pecah dan menumpahkan anggur kebahagiaan ke pasir.
Tak ada yang dapat membaca pikiran Layla; tak ada seorang pun
yang tahu badai yang bergejolak dalam hatinya.

Dapatkah seorang pelari
melihat duri yang telah membuat kakinya pincang? Bahkan jika ia memiliki keberanian untuk menumpahkan ketidakbahagiaannya, keluarganya tetap takkan memahaminya. Dan ia telah menetapkan akan tetap bungkam. Apa untungnya jika ia berbicara? Orang-orang yang melakukan
pemberontakan terhadap suku mereka akan kehilangan suku; jari yang digigit oleh ular harus dipotong dan dibuang sebelum racunnya menjalar.

Kehidupan dibangun atas dasar keserasian dan keseimbangan
dari seluruh elemennya: ketika setiap kali keserasian itu terusik, kematian akan bergerak perlahan dan terjadilah hal yang sangat buruk. Dan betapa pun usahanya untuk menunjukkan kebahagiaan di wajahnya, tak dapat dipungkiri bahwa kematian telah muncul di hati Layla dan kini menanti tiba saatnya untuk mengubah jiwanya menjadi sebuah nisan.

Kapal malam mengangkut muatan yang berupa bintang yang menyala di langit sementara matahari mulai membangun tenda keemasannya di atas bumi. Pagi telah tiba. Ibn Salam, pria yang paling bahagia, memberikan tanda kepada
rombongannya untuk memulai perjalanan kembali pulang. Keledai-keledai serta unta-untanya beranjak pergi dengan kecepatan tinggi karena tak lagi membawa muatan di atas punggung mereka. Walaupun Ibn Salam telah menghabiskan uang yang tak sedikit untuk membelikan hadiah untuk keluarga sang pengantin wanita, ia tak menyesalinya. Lagipula, bukankah Layla harta yang paling berharga di seluruh dunia ini?

Tandu yang telah disiapkan untuk Layla tak hanya mewah di
bagian dalam tapi juga di bagian luar. Dengan tandu yang diangkut oleh
beberapa unta dan beberapa orang pelayan yang siap membantunya,
Layla diperlakukan bak seorang putri. Ia diberitahu bahwa selama perjalanan yang perlu dilakukannya hanyalah menepuk kedua tangannya dan rombongan akan berhenti agar ia dapat turun barang sejenak untuk sekedar meluruskan kakinya; hanya dengan batuk maka es serbat akan disediakan untuk menghilangkan dahaganya; hanya dengan menguap maka sebuah paviliun yang terbuat dari kain sutera akan didirikan agar ia dapat tidur. Namun Layla tak menghendaki semua itu.

Ketika akhirnya mereka tiba di perkemahan Ibn Salam, pria itu
menoleh kepada Layla dan berkata, “Sayangku, apapun yang berada disini adalah milikmu. Seluruh milikku menjadi milikmu: kerajaanku berada
di bawah kekuasaanmu.”

Dan bagaimanakah tanggapan Layla?

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang