20.2|Dan Sanja Berpulang

213 13 0
                                    

“Tak dapatkah Ayah melihat bahwa aku telah melupakan masa
laluku? Halaman demi halaman kenanganku telah kosong, kata demi
kata yang tertera telah dihapuskan. Aku bukan lagi aku yang dulu. Jika Ayah
memintaku untuk bercerita tentang apa yang telah terjadi, aku tak bisa
menceritakannya karena aku sudah tak ingat lagi. Yang kutahu hanyalah
bahwa Ayah adalah ayahku, dan aku adalah putra ayah. Aku bahkan tak
ingat nama ayah…….”

Kata-katanya memudar dan untuk beberapa saat ia hilang dalam
pikirannya. Kini, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia paham betul apa
yang telah digariskan takdir kepadanya. Ia melanjutkan, “Memang benar,
Ayahku tersayang, Ayah adalah sosok asing bagiku, tapi jangan bersedih
atau terkejut dengan kenyataan ini. Karena bagi diriku sendiri, aku adalah
sosok asing: aku tak lagi mengenal diriku. Aku terus bertanya kepada
diriku sendiri, ‘Siapa kau? Siapa namamu? Apakah kau sedang jatuh cinta,
dan jika benar demikian, dengan siapa kau jatuh cinta? Apakah kau dicintai,
jika benar, oleh siapa?’ Api menyala dalam jiwaku, api yang begitu panas
sehingga membakar habis keberadaanku dan menjadikannya abu. Dan
kini aku tersesat di alam liar ini atas keinginanku sendiri.”

“Tidakkah Ayah lihat bahwa aku telah menjadi liar seperti sekelilingku, sebuas makhluk buas yang Ayah lihat di sini? Bagaimana mungkin
aku dapat kembali ke dunia nyata? Aku bagaikan makhluk asing bagi
mereka, dan dunia mereka sangat asing bagiku. Jangan paksa aku untuk
kembali, ayah, karena hal itu takkan ada gunanya.Aku hanya akan menjadi beban bagimu dan bahaya bagi lainnya. Di sinilah tempatku, aku tak
membahayakan siapa pun di tempat ini.

“Andai saja Ayah dapat melupakan keberadaanku! Andai saja
Ayah dapat menghapusku dari kenangan Ayah dan melupakan bahwa
Ayah pernah memiliki seorang putra! Andai saja Ayah bisa menguburku
di sini dan berpikir: ‘Di sini terbaring seorang pria bodoh yang malang,
si pemabuk yang dirasuki oleh iblis yang telah mendapatkan benih yang
telah disemainya dan menerima apa yang pantas diterimanya.

“Ayahku tersayang, Ayah berkata bahwa matahari Ayah akan terbenam dan Ayah akan segera pergi, dan karena itulah Ayah datang untukmengajakku kembali. Tapi matahariku juga akan segera terbenam, karena
aku telah dibawa menuju kematian dan kenyataan itu sudah tak dapat
ditawar-tawar lagi; bahkan bisa dikatakan jika kematian itu berada dalam
diriku sendiri, memakanku dari dalam. Jika segalanya sudah terlambat,
maka sudah terlambat bagi kita berdua. Siapa yang tahu, mungkin kepergianku justru mendahului Ayah. Bagian dalamku telah mati dan aku telah
membunuh Ayah dengan kesedihan. Jadi jangan biarkan yang mati menangisi yang mati.”

Melalui kata-kata itu, si tua Sayyid memahami dengan jelas bahwa
Majnun bukan lagi miliknya. Si bodoh yang gila ini adalah tawanan yang
terperangkap dalam benteng cinta yang gelap, begitu kuat ikatannya sehingga tak ada yang dapat membebaskannya.
Si pria tua itu menggenggam tangan Majnun dan berkata, “Putraku
tersayang! Kau memakan dirimu sendiri dalam kesedihanmu dan kesedihan
itu memakan darahmu. Apa yang harus kulakukan denganmu? Kau adalah
rasa sakitku – namun kau juga adalah kebanggaanku. Sangatlah jelas bahwa
tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk membujukmu kembali pulang
denganku. Karena itu aku akan pergi; aku akan meninggalkanmu dan kembali pulang, lalu aku akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

“Genggamlah tanganku erat-erat, Putraku! Lihatlah bagaimana
airmata menetes dan mengalir menjadi sungai. Airmata ini akan membersihkanku sehingga aku akan memulai perjalanan dalam keadaan segar.
Pegang aku erat-erat, sayangku! Menit-menit terakhir bersamamu ini
bagaikan persediaan makanan yang cukup untuk perjalananku. Aku telah
mengepak barang-barangku dan telah siap untuk berangkat. Bergerak,
bergerak – selama hidupnya manusia harus bergerak! Dan begitulah seharusnya.”

“Selamat tinggal, Putraku! Takkan pernah lagi mataku melihatmu
di dunia ini. Selamat tinggal! Kapal yang menungguku telah bersiap-siap
untuk berlayar dan takkan pernah kembali lagi. Sungguh aneh, aku merasa
bahwa jiwaku telah terbebas! Selamat tinggal, Putraku tercinta! Takkan
pernah lagi kita bertemu di dunia ini!”

Majnun memperhatikan begitu Sayyid dan dua teman seperjalanannya bergerak melintasi pasir. Ia tahu bahwa ayahnya telah berbicara
dengan jujur bahwa mereka takkan pernah bertemu lagi – setidaknya bukan
di dunia ini. Benar adanya, dua hari setelah tiba di kediamannya, pria tua
itu meninggal dunia, jiwa serta rohnya akhirnya terbebas.

Setiap jiwa bagaikan kilatan cahaya, tercipta untuk bersinar sesaat sebelum akhirnya menghilang untuk selamanya. Dalam alam semesta
ini, segala sesuatunya ditakdirkan untuk mati, tak ada yang tercipta untuk
berlangsung selamanya.

Namun jika kau ‘mati’ sebelum kau benar-benar
mati, saat kau palingkan wajahmu dari dunia yang wajahnya bak dewa
Janus, kau akan menerima penyelamatan tertinggi dari kehidupan abadi.

Segalanya tergantung kepadamu: kau adalah takdirmu sendiri, dan apapun
takdir itu atau akan seperti apa nantinya, ia berada dalam dirimu. Dan pada
akhirnya, yang baik akan berkumpul dengan sesamanya, dan yang buruk
juga akan berkumpul dengan kaumnya. Rahasiamu akan diumumkan dari
puncak gunung dan ketika gema itu kembali, kau menyadari bahwa itu
adalah suaramu sendiri…….

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang