20.1|Dan Senja Berpulang

249 14 0
                                    

Tak ada yang lebih berarti daripada apa yang telah kau raih selama
ini

Seorang wanita hanya dapat mengenakan pakaian yang
dimilikinya

seorang pria hanya dapat memanen hasil dari benih
yang telah ia tanam.

Jika kau berharap untuk meraih kebaikan
dalam hidupmu, kau harus memulainya dari hari ini.

Dan hari-harinya sama gelapnya dengan malam-malamnya.
Ia biasanya duduk di sudut tendanya, menanti adanya pertanda yang akan
mengumumkan kedatangannya ke tempat peristirahatan terakhir. Ia tahu
bahwa sinyal itu akan datang tak lama lagi, karena ia telah melewati tiga
papan penunjuk jalan yaitu Penderitaan, Kelemahan, serta Usia Tua.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencari Majnun dan berbicara
kepadanya untuk terakhir kalinya. Mungkin saja ia dapat membuat putranya mengerti; mungkin saja ia dapat membujuknya untuk melepaskan
jiwanya dari gurun pasir, untuk menyelamatkan hatinya dari obsesinya.

Setelah beberapa minggu, tampaknya mereka takkan pernah
mencapai tujuan. Namun akhirnya, saat si tua Sayyid merasa khawatir
bahwa ia akan meninggal karena hawa panas dan debu dan juga keputusasaan karena tak tercapainya tujuan mereka, mereka bertemu dengan
seorang Bedouin tua yang mengetahui kabar Majnun.

“Kalian sedang mencari Majnun?” tanyanya dengan mata terbelalak lebar. “Berarti aku dapat membantu, karena aku tahu di mana ia ber-ada! Ia bersembunyi di sebuah gua kecil terpencil yang mirip dengan lubang
api neraka. Aku tak menyarankan kalian ke sana – kecuali jika kalian tak
takut kematian!”

Tempat itu begitu terisolir, begitu suram, sehingga membuat
para pencarinya menangis. Dan ketika mereka menemukan Majnun –
setidaknya makhluk yang mereka anggap sebagai Majnun – tangisan
mereka semakin keras. Si tua Sayyid tak mengenalinya sebagai manusia,
apalagi sebagai darah dagingnya sendiri. Majnun tak lebih dari beberapa
tulang belulang yang kurus, yang disatukan oleh kain-kain kotor dan compang-camping. Ia merangkak bagaikan hewan buas, bagaikan roh mengerikan dari neraka yang bangkit dari waktu ke waktu untuk menghantui
manusia. Rambutnya kusut, kulitnya berlumur debu, ia menggeliat di atas
pasir bagaikan ular yang berada di ujung kematian.

Pemandangan itu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya, bahkan mereka-mereka yang
berhati keras sekalipun.
Dibanjiri oleh rasa cinta dan iba, oleh keharuan serta penderitaan,
si tua Sayyid terjatuh dan mendekap putranya di dadanya. Dengan halus,
ia membelai wajah putranya, membersihkan debu dan kotoran dari wajah
putranya dengan airmatanya sendiri.

Majnun memandang ke arah ayahnya, namun ia tak melihatnya. Siapakah pria tua ini dan untuk siapakah
ia menangis? Ia menatap wajah ayahnya dalam-dalam, namun ia tak mengenalinya. Bagaimana mungkin ia dapat mengenali ayahnya jika ia tak
bisa mengenali dirinya sendiri? Ia menatap mata pria tua itu dan berkata,
“Siapakah Anda? Dari mana asal Anda? Apa yang Anda inginkan dari
saya?”
“Aku telah mencarimu selama ini, putraku,” sahut si tua Sayyid.

Ketika Majnun mendengar suara ayahnya, akhirnya ia mengenali
siapa sosok asing yang berada di hadapannya. Ia bergerak maju dan menjatuhkan dirinya di kedua tangan pria tua itu dan mulai menangis tak terkontrol. Si tua Sayyid mencium pipi putranya dan menekannya begitu
keras ke dadanya hingga jantungnya nyaris meledak. Selama beberapa
menit yang penuh airmata, mereka saling berpelukan.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang