14.2| Atas Nama Persahabatan

1.4K 63 1
                                    

Nowfal merasa terketuk oleh ucapan para tetua itu, dan untuk beberapa saat ia tak mampu menjawabnya. Ia juga telah menyiapkan diri untuk melupakan apa yang terjadi dan membiarkannya berlalu. Dengan sungguh-sungguh, ia menyetujui kesepakatan gencatan senjata itu, namun tidak tanpa menetapkan kemauannya, "Aku telah mendengar apa yang telah kau ucapkan dan aku setuju bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan untuk kita. Oleh karena itu, aku setuju untuk melaksanakan gencatan senjata. Kini aku akan pergi, namun sebelum itu, aku akan meminta apa yang telah kumenangkan hari ini. Bawakan Layla kepadaku -hanya dengan itulah aku akan merasa puas dan akan meninggalkanmu dengan tenang."

Begitu ia berhenti berbicara, seorang pria dari suku yang telah kalah melangkah maju dan mendekati Nowfal. Pria itu adalah ayah Layla, punggungnya membungkuk karena kesedihan dan penghinaan. Dengan pelan, ia berlutut di hadapan Nowfal, merendahkan dirinya di kaki sang pemenang dan mulai terisak. "O Nowfal! Kau adalah kebanggan bagi semuamasyarakat Arab dan kau adalah seorang pangeran! Aku adalah seorang pria tua - pria tua yang hatinya hancur dan punggungnya membungkuk karena perubahan waktu. Bencana telah membuatku berlutut; kesedihan telah membuatku sampai di tepian. Kutukan dan keburukan sedang menumpuk di atasku saat ini, dan saat aku teringat oleh darah yang telah tumpah karenaku, kuharap bumi ini akan terbuka dan menelanku bulat-bulat. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Jika kau akan melepaskan putriku, maka aku akan merasa sangat bahagia. Jika kau berniat membunuhnya, maka bunuhlah ia! Goroklah tenggorokannya dengan belatimu, tusukkan pedangmu ke dalam jantungnya, dan injak-injaklah tubuhnya di bawah kuda-kudamu jika kau mau. Aku takkan mempertanyakan keputusanmu.

"Tapi ada satu hal yang tak pernah bisa kuterima. Selama aku masih menjadi ayahnya, aku takkan pernah menyerahkan putriku kepada si tolol, si iblis yang menyamar menjadi manusia, si gila, si 'majnun' ini - takkan pernah! Seharusnya ia diikat oleh rantai besi dan dikunci rapat-rapat, dan bukan terikat dalam ikatan pernikahan lalu dibiarkan bebas berkeliaran!"

"Lagipula, apalah ia? Ia hanyalah orang bodoh, gelandangan dan pengembara, tak mempunyai tempat tinggal, orang yang tak berguna yang berkelana di pegunungan bagaikan pertapa kotor yang dirasuki syaitan serta para kaki tangannya. Apakah ia layak untuk duduk bersanding dengan manusia lainnya, apalagi untuk memperistri seorang gadis? Apakah aku bersedia memiliki menantu seorang penyair pengkhianat yang telah menyeret-nyeret namaku dalam kubangan kotoran? Seluruh pelosok Arab telah menyebut-nyebut nama putriku dalam sajak-sajaknya yang menyedihkan. Dan kau justru memintaku untuk menyerahkan putriku kepadanya? Namaku akan buruk selamanya, dan tanah kelahiranku yang kuagungkan takkan selamat. Kau meminta sesuatu yang tak mungkin, Tuan, dan kumohon agar kau menghentikannya. Lebih baik jika aku menggotok lehernya dengan pedangku daripada harus menyerahkannya kepada Majnun: karena hal itu akan sama saja dengan menyerahkan putriku sendiri ke kandang singa. Akan lebih baik jika ia mati secepatnya dengan pedangku daripada harus meletakkannya di rahang naga seperti Majnun!"

Selama sedetik, keberanian pria tua yang polemik dan kekerasan ancamannya mengejutkan Nowfal dan membuatnya terdiam. Meskipun begitu, ia tak menaruh kebencian kepada sosok bungkuk yang berlutut di hadapannya. Dengan tegas namun sopan, ia menyahut, "Berdirilah, pria tua! Meskipun aku memiliki kekuasaan, tapi aku takkan mengambil putrimu dengan paksaan. Seorang wanita yang diambil karena paksaan ibarat makanan tanpa garam: aku akan mengambilnya hanya jika kau bersedia menyerahkannya."

Para pelayan serta penasihat Nowfal menyetujuinya. Jika Majnun tak dapat memiliki Layla, maka dirinya sendirilah yang harus dipersalahkan. Lagipula, segalanya terjadi karena Majnun; ialah yang patut dipersalahkan atas terjadinya pertumpahan darah ini. Dan bukankah pada pertempuran pertama ia justru memihak musuh dan berkhianat kepada mereka-mereka yang telah berjuang untuknya? Pria yang telah mencaci maki Majnun atas tindakannya saat pertempuran pertama itu kini melangkah maju dan berbicara kepada Nowfal....

Keputusan apa yang akan di ambil oleh Nowfal? Akankah tetap pada tujuan kemenang perang atau melupakan keinginan Majnun?

Tunggu di chap berikutnya..

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang