7.| Mengasingkan Diri

2.5K 96 0
                                    

Manusia berakal sehat mana yang memilih tempat terpencil seperti itu sebagai tempat persembunyian?

Namun kemudian ia melihat
sosok itu bergerak dan mendengarnya mengerang…

Berita tentang ibadah Majnun ke Makkah, ketukan kerasnya di pintu Ka’bah serta pengakuan cintanya yang berapi-api segera beredar ke mana-mana; tak membutuhkan waktu lama, kisah tentang cinta Majnun
–dan juga kegilaannya– dibicarakan semua orang. Beberapa orang menyerangnya dengan cemooh kasar, sementara beberapa lainnya justru merasa kasihan kepadanya dan membelanya. Sebagian kecil orang menceritakan hal baik tentangnya, sementara begitu banyak yang tetap mengejeknya………...dan menyebarkan rumor-rumor jahat.

Berita tentang Majnun sampai di telinga Layla juga, namun tak banyak yang dapat dilakukannya untuk membela kekasihnya: ia hanya dapat duduk dalam keheningan dan meratapi kesedihannya. Tetapi para
anggota sukunya merasa bahwa sudah tiba saatnya mereka melakukan suatu tindakan. Jadi mereka mengirim utusan kepada Menteri Utama Kalifah dan mengungkapkan keluhan berkaitan dengan Majnun.

Begitu sang utusan telah selesai berbicara, sang Menteri beranjak berdiri dari kursinya, menghunus pedangnya dan menunjukkannya kepada para utusan. “Jinakkan si gila dengan menggunakan ini, jika kalian bisa,” katanya. “Dan kudoakan kalian baik-baik saja.” Tanpa sengaja ucapan sang Menteri terdengar oleh seorang anggota suku Majnun, Banu Amir, yang sedang berada di pengadilan saat itu. Tanpa membuang banyak waktu, ia bergegas memberitahu Sayyid, ayah Majnun, tentang apa yang telah didengarnya.

Ucapan sang informan menancap di hati Sayyid bagaikan seratus anak panah. Karena khawatir akan keselamatan nyawa putranya, ia mengirimkan anak buahnya untuk mencari Majnun dan mengamankannya. Satu per satu mereka kembali dengan tangan kosong, dan membuat mereka berkecil hati. “Majnun tak dapat ditemukan di mana pun,” kata
mereka, “dan kami khawatir jika takdirnya memang telah ditentukan. Entah memang demikian atau karena ia telah tewas dimakan hewan liar, siapa yang tahu?” Pada saat itu juga, teman-teman serta sanak saudara Majnun mulai terisak dan meratap seolah berduka atas kematiannya.

Namun Majnun masih hidup, ia aman –untuk sementara waktu– di salah satu pegunungan tempatnya mengasingkan diri. Ia sendirian – seperti sang Pencipta sebelum menciptakan semesta, Majnun menjadi ‘harta tersembunyi yang menunggu saatnya untuk ditemukan’.

Namun kesendirian Majnun tidak lama dan akhirnya keberadaannya pun diketahui. Beberapa hari setelah utusan suku Layla telah mengajukan keluhan mereka kepada Menteri Kalifah, seorang Bedouin dari suku
yang dikenal dengan nama Banu Saad melewati daerah itu dan melihat sesosok manusia dalam posisi membungkuk di bawah semak berduri. Awalnya, ia menyangka yang dilihatnya hanyalah khayalan semata; lagipula manusia berakal sehat mana yang memilih tempat terpencil seperti itu sebagai tempat persembunyian? Namun kemudian ia melihat sosok
itu bergerak dan mendengarnya mengerang. Pria Bedouin itu bergerak
mendekati sosok itu secara perlahan sambil berkata, “Siapa kau dan apa� yang kau lakukan di tempat ini? Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?”

Ia mengulangi pertanyaannya lagi dan lagi, namun Majnun tak memberikan jawaban. Akhirnya sang Bedouin menyerah dan pergi meninggalkannya, begitu tiba di tempat tujuannya, ia bercerita kepada keluarganya tentang apa yang telah dilihatnya dalam perjalanan. “Sesosok manusia,” jelasnya, “tampak jelas bahwa ia pria gila yang sedang kesakitan, menggeliat-geliat di bawah semak berduri seperti seekor ular yang terluka. Rambutnya kotor dan kusut, pakaiannya compang-camping, dan
yang tersisa dari tubuhnya hanyalah tulang dan kulit.”

Berita mengenai pertemuan pria ini dengan Majnun akhirnya sampai di telinga Sayyid, yang dengan segera melakukan perjalanan untuk menemukan putranya dan membawanya pulang dari alam liar.

Awalnya Majnun tidak mengenali ayahnya, baru setelah Sayyid mulai berbicaralah Majnun menyadari siapa yang telah datang untuk menolongnya. Saat itulah air mata Majnun turun semakin deras begitu ia mendekap ayahnya. Lalu, ketika tangisnya telah reda, ia berkata, “Ayahku tersayang, maafkan aku! Jangan tanyakan bagaimana keadaanku, karena ayah bisa melihat sendiri bahwa tak banyak yang tersisa dari hidupku. Kuharap ayah tak melihatku dalam keadaan seperti ini; melihat wajah ayah yang bak malaikat sementara wajahku penuh debu dan rasa malu, aku tak bisa menjelaskannya. Maafkan aku, ayahku, tapi ketahuilah: semua ini bukanlah salahku, karena sebenarnya benang takdirku berada di tangan orang lain…….."

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang