21.|Kesakitan, Penyesalan, dan Kesedihan

263 15 0
                                    

Itulah yang tertinggal kini: perasaan sakit tanpa penyembuhan,


penyesalan tanpa akhir, kesedihan tanpa penghiburan.

Pada saat itu, seorang pemburu dari suku Amir sedang mengintai

rusa gurun di Gurun Najd ketika ia bertemu dengan Majnun. Majnun

bukanlah mangsanya, namun lidah si pemburu itu lebih tajam dari pisau

manapun.

Ia berteriak, "Jadi di sinilah tempat persembunyianmu. Apakah

Layla satu-satunya orang dalam hidupmu yang berarti bagimu? Tidakkah kau memikirkan ibu yang telah melahirkanmu, membesarkanmu, merawatmu, dan menjagamu dengan kekhawatiran yang hanya ada dalam

hati seorang ibu? Apakah begini caramu membalas kebaikannya, dengan

mengabaikannya?

"Dan bagaimana dengan ayahmu? Memang benar, ia masih hidup

saat terakhir kali kau melihatnya, tapi kini beban kesedihannya telah membawanya ke kematian. Katakan padaku: apakah kau menikmati hidupmu

setelah mengetahui bahwa hidupnya telah berakhir? Tidakkah kau memikirkannya sama sekali? Dengan keegoisanmu kau mengubur dirimu hiduphidup di alam liar ini, saat kau seharusnya berlutut di hadapan nisannya

dan meminta maaf kepadanya. Sangtlah jelas bahwa kau terlalu larutdalam emosimu sendiri sehingga kau tak terpikir bahkan untuk memberikan penghormatan terakhirmu kepadanya. Kau sungguh makhluk menyedihkan! Seorang putra sepertimu lebih baik mati daripada hidup; dengan

demikian setidaknya rasa dukacita dari mereka-mereka yang menyayangimu akan memiliki arti."

Perjalanan menuju makam ayahnya merupakan perjalanan yang

sangat berat, berlangsung selama beberapa hari dan malam dan memerlukan perjuangan besar, namun Majnun tidak peduli. Melihat nisan ayahnya, kesedihannya semakin besar dan membuatnya menangis terisakisak di kaki makam ayahnya. Sang pria tua itu tak dapat menyelamatkannya, tapi setidaknya ia telah merasakan kesedihan putranya. Kepedihan

Majnun telah menjadi kepedihannya juga dan airmata mereka telah

bersatu menjadi sebuah sungai. Namun kini airmata Majnun harus mengalir sendirian.

Hancur karena kesedihan, Majnun mencakar-cakar tanah dan

memohon jawaban atau pertanda dari ayahnya. Ia menjerit dengan suara

yang sangat menyayat hati, "O, Ayah! Di manakah ayah sekarang? Selama

bertahun-tahun ayah menyayangiku, merawat serta mendukungku, dan

sekarang beginilah akhirnya! Ayah adalah batu kekuatanku, kini Ayah

hanyalah debu; Ayah adalah tongkat kayuku, kini Ayah adalah abu. Kepada

siapa Aku mengadu, kini setelah Ayah pergi dari kehidupanku dan memasuki alam kematian? Ayah selalu ada untukku, meskipun yang kuberikan

selama ini hanyalah penderitaan dan kekecewaan. Andai saja aku dapat

membahagiakan Ayah dengan menjadi putra yang selalu Ayah impikan;

tapi aku justru menyiksa Ayah dan mengirimkan Ayah ke kematian yangterlalu dini. Dan kini aku tersiksa oleh perpisahan ini, oleh kesunyian yang

tak dapat kujelaskan yang kini kurasakan setelah kepergian Ayah. Tanpa

Ayah aku tak berarti apa-apa, mengapa kubiarkan Ayah pergi sendirian?

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang