13.| Di Mana pun Jantungnya Berada, di Sanalah Tempatku

1.8K 67 1
                                    

Apakah kau akan tetap duduk di sana dan melihat hatiku hancur,

sementara kau tak berbuat apa-apa? Kesabaranku telah habis;

akal sehatku pun demikian.

Jika kau tak membantuku, aku akan mati!

Hari itu seperti hari biasanya, Majnun dan Nowfal sedang duduk bersama, bersantai dan bersenang-senang, percakapan ringan terlontar dari bibir mereka. Tiba-tiba, senyum Majnun mendadak pudar dan wajahnya tertutup awan hitam. Airmata membasahi matanya dan ia mulai
mendendangkan sajaknya.

Kesedihan di hatiku tak membuatmu tergerak;
Kau tak merasakan sakitku saat ku menangis.
Begitu banyak janji yang kau buat,
Tak satu pun yang kau tepati.
Kau bersumpah akan memuaskan hasratku,
Sedari awal kau keras kepala;
Berkeinginan untuk memadamkan nyala api cinta yang membara,
Dan dengan kata-kata kosong kau mengoyak hatiku.

Nowfal duduk dalam diam dan sedih, bertanya-tanya bagaimana mungkin rasa pahit itu tak terdeteksi dalam cangkir persahabatan mereka. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana ia bisa menanggapinya? Ia tak menyiapkan senjata apapun untuk serangan ini, tak ada kata yang pantas untuk dapat memukul mundur serangan tiba-tiba ini. Yang dapat ia lakukan hanyalah menurunkan pandangannya untuk menutupi kesedihan
yang dirasakannya.

Dengan getir, Majnun melanjutkan ucapannya, “Betapa mudahnya kau membuat janji-janji itu, dan kini kau bungkam! Apakah kau akan tetap duduk di sana dan melihat hatiku hancur, sementara kau tak berbuat apa-apa? Kesabaranku telah habis; akal sehatku pun demikian. Jika kau tak membantuku, aku akan mati! Atau mungkin aku harus meminta pertolongan dari teman-teman yang lebih baik? Aku dulu lemah, tanpa teman,
hancur dan haus akan air kehidupan, dan kau berjanji akan mengubah segalanya. Namun demikian, kau tak berbuat apapun –kecuali melanggar janjimu. Pria macam apa kau ini? Apakah Allah tidak meminta umatnya untuk memberikan makanan kepada mereka-mereka yang sedang kelaparan, untuk memberikan minuman kepada mereka-mereka yang sekarat
karena dahaga? Penuhi janjimu, jika tidak pria gila ini akan kembali ke gurun tempat kau menemukannya. Persatukan aku dengan Layla atau aku akan mengakhiri hidupku yang hancur ini!”

***

Jantung kekasihku berdetak untuk pihak musuh,

dan di mana pun jantungnya berada,
maka di sanalah tempatku.

Aku ingin mati demi
dirinya…

Kata-kata Majnun bagaikan panah berapi dan hati Nowfal bagaikan lilin. Nowfal menyadari bahwa ia harus segera beraksi. Segera saja ia mengganti jubahnya dengan pakaian perang, dan tak lupa membawa
pedangnya, ia mulai berangkat tanpa penundaan lagi. Dalam waktu satu jam, seratus orang berkuda –yang seluruhnya telah dibekali oleh keahlian bertarung– dikumpulkan di bawah bendera Nowfal.

Nowfal menunggang kudanya di depan, rambutnya tergerai dan dikibaskan oleh angin bagaikan surai singa, dan Majnun berada di sisinya. Setelah beberapa saat, mereka tiba di daerah pinggiran perkemahan suku Layla. Nowfal memerintahkan anak buahnya untuk turun dari kuda mereka dan menyiapkan perkemahan. Lalu ia mengirimkan bentara kepada kepala suku Layla dengan pesan sebagai berikut: “Aku, Nowfal, dengan ini menyatakan keinginanku untuk berperang denganmu. Pasukanku telah berkumpul dan kami telah siap untuk melawanmu hingga tetes terakhir, sampai kemenangan berhasil kami raih. Hanya ada satu jalan keluar bagimu, yaitu kau harus membawa Layla kepadaku; dan jika kau menolak untuk menurutinya, maka pedangkulah yang akan memutuskannya untuk kita. Kutetapkan bahwa aku akan menyerahkan Layla kepada seorang pria yang sangat mencintainya, satu-satunya pria yang pantas untuknya. Itulah permintaanku.”

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang