Hanyalah manusia yang mampu merasakan kepedihan karena memiliki sesuatu yang tak dibutuhkannya, namun mendambakan sesuatu yang tak mampu dimilikinya...
Pada suatu masa di Jazirah Arab, tinggal seorang pria - tepatnya seorang raja besar bernama Sayyid, yang menjadi pemimpin sebuah suku yang dikenal sebagai suku Banu Amir. Tak ada penguasa lain yang menyamai kemakmuran serta kesuksesannya, dan keberaniannya sebagai pemimpin telah dikenal di seluruh pelosok wilayahnya. Bagi kaum miskin, ia adalah seorang dermawan - pintu-pintu gudang hartanya selalu terbuka dan ikatan dompetnya tak pernah tertutup.
Sifatnya yang ramah kepada para pendatang asing pun sangat terkenal. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia merasa bersyukur menikmati segala rasa hormat yang biasanya hanya ditujukan kepada para sultan serta kalifah. Namun ia melihat dirinya dari sudut pandang yang berbeda. Baginya, ia bagaikan sebuah lilin yang secara perlahan meleleh tanpa dapat memberikan berkas cahaya bagi lainnya. Kesedihan yang teramat menggelayuti hatinya, membuat hari-harinya makin terasa suram - Sayyid tak memiliki putra.
Begitu besar hasratnya untuk memiliki anak hingga ia melupakan hal-hal lainnya. Demi mendapatkan satu hal yang sangat didambakan namun tak dimilikinya, ia mengabaikan karunia Tuhan yang telah diberikan kepadanya - kesehatan, kekayaan, serta kekuasaannya. Bukankah cara berpikir manusia memang demikian? Ketika tujuan tak tergapai dan doa tak
terjawab, pernahkah kita berpikir bahwa keheningan Tuhan justru demi kebaikan kita sendiri? Kita memang selalu merasa yakin dengan apa yang kita butuhkan, hal itu benar adanya. Namun seringkali kita bingung dengan kebutuhan dan keinginan, dan juga apa-apa saja yang kita inginkan, namun tak kita butuhkan - kadangkala hal-hal seperti itulah yang membuat kita terjatuh. Jika kita tahu seperti apa masa depan kita, tentu saja kita takkan dipusingkan oleh hal-hal itu. Namun kita tak dapat melihat masa depan; takdir setiap manusia berada jauh di luar jangkauan manusia untuk dapat dilihat. Ke mana tujuannya tak ada yang tahu. Siapa yang tahu bila kunci yang kita temukan di hari ini bukanlah kunci untuk gembok yang akan kita temukan di esok hari, atau gembok di hari ini bukanlah untuk kunci di hari esok?
Dan begitulah, Sayyid berdoa dan berpuasa dan terus memberi sedekah hingga hampir saja ia mengakui kekalahannya, pada saat itulah Allah mengabulkan permintaannya.
Ia diberikan seorang bayi laki-laki, seorang anak yang sangat tampan bagaikan bunga mawar yang baru saja mekar, bagaikan sebuah berlian yang keindahannya dapat mengubah malam menjadi siang. Untuk merayakan kelahirannya, Sayyid membuka lebar seluruh gudang hartanya dan menghambur-hamburkankan emas seolah yang disebarkannya hanyalah butiran-butiran pasir. Semua orang merasakan kebahagiannya. Dan acara itu dirayakan dengan pesta meriah di seluruh pelosok wilayah.
Sang bayi diasuh oleh perawat yang berhati lembut hingga bayi itu tumbuh besar, kuat dan sehat. Dan begitulah, empat belas hari setelah kelahirannya, sang bayi telah menyerupai bulan purnama dengan segala keindahannya, menyinari dunia dengan cahayanya dan dengan cahaya itu semua orang dapat melihatnya dengan jelas.
Di hari kelima belas, kedua orangtuanya memberikannya nama Qais. Namun begitu hal ini dilakukan secara rahasia, tersembunyi dari semua orang demi mengusir hal-hal jahat.
Setahun berlalu, dan ketampanan sang bayi berubah menjadi kesempurnaan. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang ceria dan aktif tahun demi tahun - bagai setangkai mawar yang dirawat dengan hati-hati di sebuah taman bunga. Menjelang akhir usianya yang ketujuh, ciri-ciri kedewasaan mulai tampak. Siapapun yang melihatnya, bahkan dari kejauhan sekalipun, pasti akan mendoakannya. Ketika dekade pertama dalam hidupnya telah berlalu, semua orang mengisahkan ketampanannya seolah mereka sedang menceritakan kembali dongeng-dongeng masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri Timur
RomanceQays nama pemuda itu, seorang penyair yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan si Gila "Majnun".