Bait demi bait sajak mengalir dari bibirnya; ketika sajak itu terhenti, pesan-pesan mulai disampaikan.
Ia memanggil angin timur untuk menyampaikan pesan kepada Layla,
Perpisahan Qays dengan Layla juga menjauhkannya dari semua yang dicintainya -dari sanak saudara serta teman-temannya, orangtua serta rumahnya. Jika Layla menangis secara sembunyi-sembunyi, Qays menangis secara terbuka, menunjukkan kepedihannya kepada seluruh dunia.
Ia berjalan tanpa tujuan di kedai-kedai milik pedagang di pasar, tanpa berbicara kepada siapapun. Ia digerakkan hanya oleh rasa sakit hatinya, yang membuatnya lupa akan orang-orang di sekitarnya yang memandangnya serta menunjuk-nunjukkan jari ke arahnya. Dan saat berjalan tanpa tujuan dari kedai ke kedai, tenda ke tenda, ia menyanyikan lagu-lagu cinta sambil meneteskan airmata. Orang-orang yang berpapasan dengannya berteriak-teriak, "Ini dia si 'majnun', si orang gila. Hey, Majnun!"
Kulit luarnya telah terbuka lebar dan menunjukkan jiwanya yang sakit. Ia membiarkan perasaan serta emosi terdalamnya terbuka. Tidak hanya ia kehilangan Layla, namun juga ia telah kehilangan dirinya. Qays berjalan ke sana kemari dengan hati yang terluka. Qays yang kehilangan, yang terlupakan; Qays yang menjadi korban sang takdir.
Apakah bukan kegilaan namanya jika menyala sepanjang waktu bagaikan lilin? Bukankah kegilaan namanya jika tak dapat makan ataupun tidur? Semakin keras usahanya mencari obat untuk menyembuhkan lukanya, semakin ia merasakan sakitnya. Dan saat malam tiba, momok dari cita-cita serta ambisinya yang sia-sia membawanya menuju pinggiran kota dan menuntunnya ke arah gurun, tanpa alas kaki dan hanya berbekal jubah yang menutupi bahunya.
Ia emang telah menjadi gila, namun ia juga seorang penyair. Di tengah ketenangan malam, ia menyelimuti dirinya dengan jubah dan mengendap-ngendap menuju tenda Layla. Kadangkala ada yang menemaninya -teman-teman yangseperti dirinya, pernah merasakan keindahan cinta dan juga pedihnya perpisahan- namun seringkali ia pergi sendirian. Ia bergerak bagaikan angin gurun menuju tenda Layla, berdiri diambang pintu tenda dan mengucapkan doa, kemudian bergegas pergi secepat ia datang.
Begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Betapa sulit baginya untuk bergerak menjauh dari tenda kekasihnya dan kemudian pergi! Mengapa takdir tidak berpihak kepadanya? Hatinya hancur bagaikan sebuah kapal yang terjebak di tengah hujan badai; sisa-sisa dirinya kini bergerak mengapung berkat belas kasih sang ombak. Rumahnya telah menjadi penjara di mana semua orang berbicara namun tak pernah mendengarkannya; semua orang memberikan nasihat namun tak pernah bisa memahaminya. Ia telah tiba di satu titik di mana ia tak lagi memperhatikan ucapan semua orang; ia sudah tak peduli lagi. Hanya kata 'Layla-lah' yang berarti baginya saat ini; ketika orang membicarakan hal-hal lain, ia akan menutup kedua telinganya dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Suatu hari ia berjalan seolah tak sadarkan diri; keesokan harinya ia bertingkah bak seorang pemabuk, berjalan terseok-seok, menangis terisak-isak dan merintih-rintih. Bait demi bait sajak mengalir dari bibirnya; ketika sajak itu terhenti, pesan-pesan mulai disampaikan. Ia memanggil angin timur untuk menyampaikan pesan kepada Layla, di mana sukunya telah membangun perkemahan di Pegunungan Najd.
"Angin timur, cepatlah kau bergerak dan kau akan menemukannya di sana," katanya. "Belailah rambutnya dengan halus dan bisikkan di telinganya, katakan, 'Seseorang yang telah mengorbankan segalanya untukmu menyampaikan salam dari jauh. Kirimkan kecupan melalui angin untuk memberitahunya bahwa kau masih memikirkannya.'"
"Oh Cintaku, andai saja aku tak memberikan jiwaku kepadamu,maka akan lebih baik jika aku kehilangan jiwaku untuk selamanya, demi kebaikanku. Aku terbakar dalam api cinta; dan aku tenggelam dalam air mata kepedihan. Bahkan matahari yang menyinari bumi tak dapat merasakan besarnya hasratku. Aku adalah ngengat yang beterbangan di tengah malam untuk mencari sinar lilin. Oh lilin jiwaku yang tak kelihatan, jangan siksa aku saat aku terbang mengelilingimu! Kau telah menyihirku, kau telah mencuri tidurku, akal sehatku, dan juga keberadaanku. "Kau adalah penyebab dari sakit hatiku, namun demikian cintaku kepadamu adalah satu-satunya pelipur laraku, satu-satunya penyembuh lukaku. Betapa anehnya, sebuah obat yang tidak menyembuhkan namun justru memberikan rasa sakit yang jauh lebih besar! Andai saja kau dapat memberikanku pertanda! Andai saja angin dapat menyentuh bibirmu dan membawa kecupanmu kepadaku, tapi itu berarti aku berhak untuk mencemburui sang angin dan aku akan malu karena telah memintanya melakukan itu.
🌾🌾🌾
Layla adalah sinaran matahari; Majnun adalah sebuah lilin yang
perlahan membakar habis dirinya dengan api hasrat di hadapan
gadis itu.Keindahan Layla bak taman bunga mawar; Majnun bagaikan menara api yang menyala dengan kerinduan. Layla menebarkan benih-benih cinta; Majnun menyiraminya dengan air matanya.
Layla adalah kecantikan yang seolah berasal dari dunia lain; Majnun adalah lentera yang menyala terang dan membawanya pergi dari dunianya menuju dunia yang penuh laki-laki.
Layla bak bunga melati yang bermekaran di musim semi; sementara Majnun adalah dataran musim gugur, dimana tak ada bunga melati yang tumbuh.
Matahari menyingsing dan memberikan warna keemasan di bumi, menaburkannya ke langit dan melenyapkan semua bintang.
Kini Majnun muncul dengan teman-temannya di sisinya di dekat tenda kekasihnya. Ia mengambil risiko besar; tak pernah sebelumnya ia bergerak sejauh ini tanpa kegelapan malam menyelubunginya.Dan tiba-tiba saja ia telah berada di sana, di pintu masuk tenda kekasihnya. Ia harus mengusap-usap matanya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Di hadapannya berdiri tenda Layla, dan betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa tirai tenda itu dalam keadaan terbuka. Dan tampak jelas sesosok gadis sedang duduk di pintu masuk, gadis
itu adalah Layla.Majnun mengeluarkan erangan yang dalam, seolah hendak pingsan. Kemudian Layla melihatnya. Selama sedetik yang seolah terasa berabad-abad mata mereka saling bertatapan, dan dari tatapan masing masing, mereka dapat membaca berbagai perasaan; takut, rindu, sakit, serta cinta. Air mata membasahi mata mereka tatkala saling berkomunikasi dalam keheningan dan saling menghembuskan napas di udara yang
bergerak sebagai penyampai pesan mereka.
Hanya pertemuan sesingkat itu saja yang dapat mereka lakukan, dan setelah itu semuanya usai. Satu detik lagi saja, dan perasaan indah itu akan berakhir buruk bagi mereka berdua. Karena takut akan ditangkap oleh para penjaga atau pengintai, Majnun segera berlari pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri Timur
RomanceQays nama pemuda itu, seorang penyair yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan si Gila "Majnun".