17.3| Jiwa yang Terkoyak

1K 48 0
                                    

“Lihat apa jadinya diriku! Aku mendapatkan hukuman karena aku telah membuatmu dan sukumu menderita di tangan Nowfal. Untuk menebus dosaku, aku telah membuang kebebasanku dan di sinilah aku berdiri, terikat oleh rantai, menunggu saatnya untuk dihukum. Aku tahu aku telah berbuat salah, aku tahu beban dosaku terlalu besar hingga aku takkan mungkin bisa dimaafkan.”

“Aku adalah tawananmu; dan kau harus menjadi hakimku. Hukumlah aku jika itu maumu; hukum aku dengan hukuman yang paling menyakitkan.”

“Akulah yang patut dipersalahkan atas penderitaan yang telah dialami oleh dirimu dan sukumu; semuanya adalah salahku. Tidakkah kau berpikir bahwa aku mengetahuinya? Tak dapatkah kau melihat bahwa karena alasan itulah aku dirantai, dibatasi dan dipukuli hingga lebam-lebam?
Aku telah mengakui tindakan jahatku dan kini aku dirantai agar aku mendapatkan penderitaan darimu. Jadi penjarakanlah aku, siksalah aku, bunuh akuu jika memang kau harus melakukannya –tapi kumohon jangan tolak aku!

“Aku hidup hanya untuk mendapatkan sambutanmu, tapi tak kunjung datang kepadaku. Aku hidup hanya untuk merasakan belaian tanganmu di wajahku, tapi kau selalu tak dapat kugapai. Namun kini – kini saat hidupku telah berakhir – aku merasa masih ada harapan!”

“Mungkin saat kau membunuhku dengan panahmu, kau akan melihatku! Mungkin kau akan menyentuhku, meskipun hanya untuk membuka kerah leherku sebelum kau memotong kepalaku dari tubuhku dengan pedang! Aku tak takut menghadapi kematian: apa yang harus kutakuti jika kaulah yang akan mengambil nyawaku? Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah yang akan memotong leherku?”.

“Hatiku bagaikan lilin: jika dipotong sumbunya, maka akan semakin terang nyalanya! Di masa hidupku, semua jalan yang menuju dirimu ditutup, jadi mengapa aku tidak merengkuh kematian dengan ikhlas? Ayolah, selamatkan dirimu dariku dan aku dari diriku sendiri, dan biarkan aku
beristirahat dengan ketenangan abadi di kakimu."

Tak ada lagi yang dapat dikatakannya. Dengan tangisan yang menyayat hati, ia bangkit dari tanah dan ekspresi wajahnya berubah dengan kemarahan. Bagaikan seorang pria yang dirasuki iblis, ia menyambar rantainya dengan kedua tangan dan entah dengan kekuatan apa, ia dapat merobek rantai itu dari tubuhnya dan membuangnya ke pasir. Lalu ia berlari. Ia melarikan diri dari si wanita tua, dari tenda Layla, dari oase tersebut, dari semua manusia dan menuju pegunungan pasir Najd.

Satu demi satu teman serta sanak saudaranya mendengar kabar tentangnya: semuanya merasa sedih kala mendengar berita itu, namun beberapa dari mereka justru terkejut. Kelakuan Majnun telah mengkhawatirkan mereka, tapi apa yang dapat mereka lakukan? Sebuah pertemuan pun diadakan dan sejumlah sanak saudara Majnun dikirim untuk mencarinya. Ketika mereka akhirnya menemukannya, jauh di atas tempat persembunyiannya yang terisolir, mereka menyadari bahwa satu-satunya hal yang diingat oleh Majnun adalah Layla dan cintanya untuk gadis itu;
ia tak lagi ingat dengan masa lalunya.

Mereka berusaha untuk menyegarkan kembali ingatannya dengan menyebutkan nama-nama teman serta sanak saudaranya lalu orang-orang serta tempat-tempat yang dikenalnya. Majnun hanya terdiam sambil menutup matanya, seolah ia merasa terlalu lelah untuk berpikir. Seluruh usaha untuk membuatnya sadar dan membuat akal sehatnya kembali ternyata gagal; pada akhirnya, sanak saudara Majnun menyerah dan kembali menuju kota.

Saudara-saudaranya yang lain mencoba untuk membujuknya, namun tetap tak
berhasil, hingga akhirnya bahkan ayah serta ibunya pun harus membuang harapan bahwa putra tercinta mereka akan kembali.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang