16.| Jubah Hitam Kesedihan

1.3K 50 0
                                    

Burung gagak itu juga mengenakan jubah hitam kesedihan,

seperti diriku,

ia telah terbang ke alam liar

untuk dapat menyendiri dengan kesedihannya.

Pagi menampakkan sinar berwarna kuning ke atas kubah malam yang berwarna nila, sementara matahari yang terbangun dari tidurnya, melukiskan warna semerah mawar di langit. Namun Majnun, yang
lelah karena kesedihan serta kepedihan perpisahan, bagaikan bunga di musim gugur, kelopaknya layu, menguning lalu jatuh.

Ketika matahari sampai pada puncaknya dan mulai memanggangnya, Majnun merasa senang tatkala menemukan oase kecil yang dikelilingi oleh pohon-pohon palem. Pada oase itu terdapat aliran air sehingga ia dapat beristirahat barang sejenak. Air mengalir, pepohonan dan juga tempat teduh!

Tempat ini, pikir Majnun, adalah serpihan kecil surga yang terjatuh ke bumi! Ia minum dari aliran air yang sejuk dan manis hingga dahaganya terpuaskan; lalu ia berbaring pada rerumputan yang sehalus karpet di bawah keteduhan pohon palem. Dalam beberapa menit saja ia telah terlelap.

Ketika terbangun, matahari telah terbenam. Berapa lamakah ia tertidur? Sepertinya baru beberapa menit saja, namun cahaya matahari yang mulai memudar serta dingin yang mulai menerpa berkata lain.

Tatkala ia bertanya-tanya tentang misteri tidurnya, berusaha untuk mengetahui berapa jam yang berlalu tanpa disadarinya, Majnun tiba-tiba merasa bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada seseorang atau sesuatu yang telah memperhatikannya selama ia tertidur. Mungkin ia salah
duga – lagipula, pikirnya, selain diriku, tak ada makhluk hidup lain sejauh
bermil-mil di sekitarnya.

Lalu ia melihatnya. Jauh di atas dedaunan pada dahan teratas pohon palem yang telah dijadikannya tempat berteduh, tampak sebuah bayangan hitam. Di sana, terdiam di atas dedaunan hijau, duduk seekor burung gagak besar berwarna hitam, matanya bersinar bagaikan permata.
Burung gagak itu juga mengenakan jubah kesedihan, pikir Majnun. Seperti diriku, ia telah terbang ke alam liar untuk dapat menyendiri dengan kesedihannya. Majnun melegakan tenggorokannya dan berteriak
kepada si burung gagak. “Hei, kau yang mengenakan jubah hitam! Untuk
siapa kau berduka? Untuk apa kau kenakan warna kegelapan bahkan di siang hari? Katakan padaku, apakah kau bersedih karenaku?”.

Terkejut oleh teriakan itu, si burung meloncat ke dahan lain dengan matanya yang bagaikan lentera menatap tajam ke arah Majnun. Majnun melanjutkan, “Jika kau seperti diriku yang hatinya telah terbagi dua oleh cinta, mengapa kau menghindariku? Atau mungkinkah kau berpakaian hitam karena kau adalah penceramah yang siap untuk mengumpulkan orang-orang yang akan mendengarkan ceramahmu? Benarkah demikian?”

“Tapi bisa saja kau seorang penjaga negro yang berada di sini untuk mengawasi setiap gerak-gerikku. Jika itu benar, lalu mengapa kau takut padaku? Mungkin aku adalah sang Raja dan kau adalah sang ksatria
yang dikirim untuk menjagaku".

“Apapun dirimu, dengarkan aku baik-baik: jika kau terbang di angkasa dan bertemu dengan kekasihku tercinta, sampaikan pesanku kepadanya.”
Dan Majnun mulai mengungkapkannya:

Selamatkan aku dari lubang kesunyian,

Karena sinar hidupku memudar di tengah alam liar ini.

‘Jangan takut, karena aku adalah milikmu!’ katamu;

Jika itu benar, datanglah – atau biarkan mereka menemukanku dalam
keadaan mati.

Ketika terperangkap, jeritan si domba terlambat didengar

Jeritan ‘Serigala!’ yang mungkin dapat mengubah takdirnya.

Begitu Majnun sampai di akhir sajaknya, si burung gagak meloncat lebih jauh dan lebih jauh lagi ke ujung dahan. Lalu dengan kepakan sayapnya, ia terbang dari ujung dahan itu dan membumbung tinggi. Tak lama kemudian ia telah hilang dari pandangan, ditelan oleh kegelapan malam.
Hari telah berakhir, yang ada kini hanyalah malam. Kelelawar beterbangan begitu senja memudar dan kegelapan bertambah. Langit tampak lebih gelap daripada jubah si burung gagak; tapi memang benar bahwa
malam tampak seperti burung gagak, berwarna hitam bagaikan tinta.

Dan begitu burung-burung malam mengepakkan sayap-sayap mereka di langit, sekali lagi mata-mata bagaikan permata menatap ke arah Majnun – kini yang dilihatnya bukan hanya sepasang mata namun ratusan ribu, besar dan kecil, dekat dan jauh, bersinar-sinar di atas kepalanya. Untuk menghindari tatapan mereka, Majnun menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Lalu ia duduk dan menangis.

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang