19.1|Sajak Cinta yang Sia-sia

449 29 0
                                    

Bahkan sajak-sajak yang didendangkan dari bibirnya seolah sia-sia saja.

Apalah artinya sajak-sajak itu, jika untuk siapa ditujukannya
sajak itu takkan pernah mendengarnya.

Majnun sama sekali tak mengetahui tentang pernikahan Layla dengan
Ibn Salam; bahkan hingga satu tahun berlalu, ia tak juga berubah.
Cinta telah mengubahnya menjadi pengembara buta dan mabuk, terhuyung-huyung dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa tahu tujuan.
Kesedihan telah membuat tubuhnya kurus dan pucat, dan keadaannya
bertambah buruk dengan berlalunya waktu. Namun bagi penyakit yang
dideritanya –penyakit cinta– tak ada obat yang dapat menyembuhkannya.
Di suatu sore, seseorang melihatnya berbaring, kelelahan seperti
biasanya, di bawah semak berduri yang menjalar bergelantungan.

Majnun tak melihat datangnya seorang pengendara mendekatinya, ataupun bunyi derap unta, hingga sang pengendara itu berada sangat dekat dengannya.
Sang pengendara, seorang pria berkulit kehitaman yang mengenakan jubah hitam, turun dari untanya dan berdiri di atas Majnun bagaikan iblis
hitam mengerikan. Suaranya sama menakutkannya dengan penampilannya. Ia menendang Majnun di bagian tulang kering dan berkata:

“Hei, kau! Pemujaanmu telah menjauhkanmu dari dunia dan
membiarkanmu tak sadar dengan apa yang sedang terjadi. Tapi izinkan
aku mengatakan kepadamu: sia-sia saja kau mendedikasikan hatimu untuk Layla. Kau makhluk bodoh! Apakah kau benar-benar berharap ia akan tetap setia kepadamu? Apakah kau pikir ia akan menunggumu? Apakah kau masih tetap mengharapkan datangnya sinar, sementara yang ada hanyalah kegelapan?

“Betapa tololnya dirimu! Lentera ketidakbersalahan yang bersinar serta cinta yang kau harapkan dari jauh hanyalah sebuah ilusi, sebuah
muslihat. Cintanya untukmu hanya ada dalam imajinasimu; baginya kau
tak berarti apa-apa!”

Majnun membuka mulutnya hendak berbicara namun si pengendara asing itu memotongnya, dan berbicara dengan suara lebih keras dan kasar kali ini.
“Kau sungguh makhluk bodoh dan malang, dan kau telah tersesat! Tidakkah kau menyadari bahwa ia telah membohongimu? Kau telah
menyerahkan hatimu kepadanya dan ia telah menyerahkan hatinya kepada pihak musuh!”

“Ia telah melupakanmu, Majnun, dan ia telah membiarkan kenangannya bersamamu terbang terbawa angin. Ia telah menikah dengan
pria lain – sebuah pernikahan yang dengan senang hati diterimanya. Kini pikirannya hanya tertuju pada suaminya, untuk ciumannya, untuk permainan cintanya, kehangatan pelukannya, kekuatan tubuhnya dan keindahan hartanya yang tersembunyi!”

“Ia telah hilang selamanya dan larut dalam pikiran-pikiran
menyenangkan tentang suaminya sementara kau terperangkap dalam
kesedihan serta penderitaanmu. Apakah hal itu benar? Apakah itu adil?

“Lihatlah betapa luasnya jurang pemisah antara kau dan
dirinya, pikirkanlah: untuk apa kau masih menyayanginya sementara
kenyataannya telah jelas bahwa ia sudah tak lagi menyayangimu?”
Majnun merasa seolah ada seribu ular yang menancapkan taring mereka di dalam jiwanya. Ia membuka mulutnya untuk menjerit dan memohon belas kasih, namun si iblis hitam itu terus melanjutkan
ucapannya.

“Wanita tetaplah wanita, Majnun! Apakah kau berharap ia
berbeda dari lainnya? Mereka semua sama saja, tidak tetap pendirian,
tak dapat ditebak serta berwajah dua. Ia sama saja seperti wanitawanita lainnya, dan wanita-wanita lainnya sama saja sepertinya.”

“Kemarin, kau menjadi sesosok pahlawan di matanya; hari ini
kau adalah iblis yang menyamar sebagai manusia! Kemarin, kau adalah segalanya baginya; hari ini kau tak berarti sama sekali! Memang benar bahwa wanita memiliki hasrat seperti kita, namun hasrat mereka hanya digerakkan oleh kepentingan pribadi semata: ada kemunafikan serta kebohongan dalam apapun yang mereka lakukan.”

“Memalukan sekali caramu mempercayainya sedari awal!
Apakah pria dapat mempercayai wanita? Jika kita mempercayai wanita maka ia akan membalas kepercayaanmu dengan siksaan. Dan kau pasti akan menyalahkan dirimu sendiri!”

“Mengapa demikian? Karena seorang pria yang mempercayai seorang wanita patut disiksa; seorang pria yang mempercayai seorang
wanita dan meyakini bahwa wanita itu akan setia kepadanya adalah
pria bodoh dan dengan demikian ia patut menerima siksaan!”

“Lagipula, apalah artinya wanita? Seorang wanita tak lebih
dari jamban penuh kepalsuan dan kesombongan, kekejaman serta
kebohongan.

“Memang benar, pada sampul luarnya wanita tampak bagaikan
tempat berlindung yang menjanjikan ketenangan; meskipun begitu, galilah lebih dalam, dan yang akan kau dapatkan hanyalah gelombang masalah serta kekacauan. Sebagai musuhmu, ia merusak seluruh dunia dan membuatnya menentangmu; sebagai temanmu, ia merusak jiwamu.

Jika kau berkata ‘Lakukan ini!’, bisa dipastikan bahwa ia takkan melakukannya; jika kau katakan ‘Jangan lakukan ini!’, bisa dipastikan ia akan pergi ke ujung dunia dan melakukannya! Saat kau menderita, ia akan bahagia; ketika kau bahagia, ia akan berada di neraka. Begitulah kaum wanita, temanku, dan
kau harus mengingatnya.

Begitu ucapan sang pengendara hitam itu selesai, sebuah erangan putus asa keluar dari kedalaman jiwa Majnun.....

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang