17.2| Jiwa yang Terkoyak

1K 46 9
                                    

Si wanita menyahut, “Apakah kau ingin tahu yang sebenarnya? Kalau begitu dengarkan baik-baik. Pria ini tidak gila ataupun seorang kriminal. Aku adalah seorang janda miskin dan ia adalah penganut Islam fanatik, seorang bodoh yang terlalu berlebihan memuja Allah, dan kami kerdua telah melalui penderitaan yang berat. Kami berdua bersedia melakukan apapun demi mendapatkan uang yang cukup untuk sekedar membeli roti.”

“Karena itulah kami berkeliling dengan cara seperti ini, karena semua orang akan berpikir bahwa ia gila. Orang-orang merasa iba kepada kami – kepadanya karena ia gila, dan kepadaku karena menanggung beban yang begitu berat – dan mereka memberikan uang kepada kami karena
kebaikan hati mereka. Berapapun yang kami dapatkan, hasil itu selalu kami
bagi dua.”

Majnun terjatuh di pasir dan mulai memohon kepadanya, “Demi Allah, lepaskan rantai ini dari tangan serta kaki pria malang ini, dan pasangkan pada tubuhku, karena akulah yang seharusnya dirantai, bukan dirinya! Kau lihat sendiri bagaimana gilanya diriku!”
“Ya, aku adalah salah seorang dari mereka-mereka yang kurang beruntung yang jiwanya terkoyak oleh cinta. Ikatlah aku dan izinkan aku turut serta bersamamu! Biarkan aku jadi tontonan dalam ikatan rantai
ini dan berapapun uang yang kau dapatkan seluruhnya akan menjadi milikmu; aku tak tertarik dengan uang.”

Wanita itu tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran Majnun. Segera saja ia melepaskan rantai dari tangan serta kaki si pria fanatik itu, lalu ia mengikatkan rantai itu ke tangan serta kaki Majnun. Dengan
kepergian si penganut fanatik, wanita itu menyentak-nyentakkan rantai Majnun dan menyeretnya pergi, di bibirnya tersungging sebuah senyum ceria.

Majnun pun menyukai perannya dan setiap pukulan kayu wanita itu ke tubuhnya bagaikan belaian lembut sang kekasih.
Si wanita dan tawanan barunya berkelana dari satu oase ke oase lainnya, berhenti pada setiap perkemahan yang mereka jumpai. Majnun biasanya duduk di atas pasir dan mendendangkan sajak-sajaknya yang didedikasikan untuk Layla sambil memukul-mukul wajahnya dengan kepalan
tangannya atau menari-nari bagaikan pemabuk sementara si wanita terus
memukulnya dengan kayu.

Di suatu oase, di tepi sungai, Majnun melihat sebuah tenda yang tampak tak asing baginya. Saat berjalan mendekati tenda itu, betapa terkejutnya ia kala menyadari bahwa itu adalah tenda Layla.
Tiba-tiba airmata menetes dari matanya. Ia terjatuh ke tanah, memukul-mukulkan kepalanya ke tanah dan menjerit-jerit, “Mengapa kau tinggalkan aku? Mengapa kau biarkan aku sendirian dan tak meninggalkan apapun kecuali kesedihanmu?"

Bersambung  ...

Layla & Majnun | Kisah Cinta Klasik dari Negeri TimurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang